Pelaku industri yang tergabung dalam Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik (INAPLAS) sepakat meminta harga gas dapat diturunkan sesuai Perpres 40/2016. Sejak 10 tahun lalu, asosiasi mendorong pemerintah untuk merevisi harga gas dan mencukupi ketersediaan pasokan domestik.
Pernyataan ini disampaikan Sekretaris Jenderal INAPLAS, Fajar Budiono saat menjadi pembicara Diskusi “Menanti Implementasi Perpres Nomor 40 Tahun 2016 Bagi Dunia Usaha” yang diselenggarakan APOLIN dan Majalah Sawit Indonesia didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Jakarta, pada pertengahan Februari 2020.
Kendati sudah keluar Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Namun, hingga saat ini harga gas belum bisa diturunkan. Saat ini harga gas industri di kisaran US$9,17 MMBTU. Walaupun, Presiden Jokowi sudah memerintahkan Kementerian ESDM untuk segera memberlakukan pelaksanaan harga gas sebesar US$6 MMBTU.
“Hingga hari ini kami masih berjuang melalui Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB). Walaupun sudah keluar Perpres tetapi belum juga berhasil mencapai apa yang menjadi tujuan,” ujar Fajar.
Pengguna gas industri yang menjadi anggota INAPLAS ada di beberapa klaster yaitu Banten (Jawa Barat), Jawa Timur, Kalimantan dan Sumatera Selatan. Pengguna gas terbesar ada di klister Jawa Barat.
“Kami membutuhkan gas sebagai pendukung industri, pada 2020 mencapai 150 BBTUD. Prediksi pada 2030 mendatang jika tidak ada penambahan kapasitas (gas) mencapai 190 – 200 BBTUD. Saat ini ada penggunaan gas sudah mencapai 147 BBTUD, pada 2023 penggunaan gas akan mencapai 150-160 BBTUD,” kata Fajar.
Selanjutnya, Fajar menjelaskan di industri Petrokimia, gas digunakan untuk utilitas. Dalam hal ini menempati porsi ketiga, setelah bahan baku (70-75%), listrik (10-15%), gas (5-15%), gaji (5%), utilitas (2,5%) dan lain-lain (2,5%). “Sehingga dengan adanya penurunan harga gas, harga (produk) yang dihasilkan di industri kami lebih kompetitif. Karena di industri plastik seluruh Indonesia mengggunakan gas mencapai 6 juta metrik ton/tahun,” jelasnya.
Seperti diketahui, gas yang diproduksi di dalam negeri hingga saat ini 2,4 juta metrik ton/tahun. Ada selisih 3,6 juta metrik ton/tahun atau lebih dari 50% yang dibutuhkan industri harus impor.
Menurut Fajar, jika harga gas bisa ditekan atau turun menjadi peluang yang bagus. Dan, bisa menjadi energi tambahan bagi industri petrokimia.
Saat ini, prosentase penggunaan gas di industri petrokimia terbesar masih disuplai oleh Perusahaan Gas Negara (PGN) sebanyak 60%. Selebihnya, disuplai oleh beberapa perusahaan gaslainnya, Pertagas Niaga 10%, Banten Gasindo 10%, Sadikun 7%, Gagas 7% dan lainnya 7%. Dengan harga pasokan 9,17 USD/MMBTU.
“Jadi kunci suplai gas ada pada PGN untuk industri Petrokimia. Dengan harga patokan per hari ini, 9,17 USD/MMBTU perbulan ini sudah ada kenaikan. Bahkan di awal tahun (januari 2020) sudah ada kenaikan 9,45 USD/MMBTU,” kata Fajar.
“Kami berharap dengan turunnya harga gas akan berdampak pada menurunkan biaya produksi, karena posisinya nomor tiga dalam biaya operasional setelah bahan baku. Karena harga ditentukan oleh pasar. Biaya listrik sudah relatif stabil namun kuantitinya masih perlu ditingkatkan lagi. Dengan turunnya harga gas dapat meningkatkan utilitas,” tambah Fajar.
Dalam industri kami, tambah Fajar,dengan harga gas turun produk jadi lebih kompetitif dibanding produk-produk impor. Pihaknya, juga sudah melakukan simulasi (perhitungan) penurunan harga gas, dengan adanya penurunan harga gas bisa menaikkan utilitas dari 85% menjadi 95%.
“Artinya ada potensi penerimaan Negara lewat PPh bisa naik 10% dikalikan 2,4 juta ton pertahun. Memang pemerintah kehilangan bagi hasil dari harga gas, tetapi akan terkonversi atau tergantikan dari kenaikan harga PPn dan kesempatan kerja. Karena dengan adanya utilitas yang meningkat maka suplai akan terus ada,” jelasnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 101)