Kontribusi kelapa sawit terhadap ekspor non migas terus meningkat. Masalah hambatan non tarif perlu menjadi perhatian pemerintah bersama pelaku usaha.
Kasan Muhri, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan RI memaparkan bahwa kontribusi sawit terhadap ekspor non migas sebesar 13,6% sepanjang 2020. Capaian ini menunjukkan selama pandemi, industri sawit tetap tangguh. Sebab, kelapa sawit menjadi bagian dari bahan baku produk sektor makanan, kebersihan, dan kesehatan.
“Selama pandemi, ekspor kelapa sawit dan turunannya menunjukkan tren positif dibandingkan produk pertanian lain. Kelapa sawit menempati posisi nomor dua berkontribusi terhadap ekspor non migas. Sepanjang 2020, total nilai ekspor sawit mencapai 21,04 miliar dolar. Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 18,7 miliar dolar,” ujar Kasan Muhri.
Kasan menjelaskan bahwa kontribusi sawit terhadap ekspor non migas sebesar 13,6% sepanjang 2020. Capaian ini menunjukkan selama pandemi, industri sawit tetap tangguh. Sebab, kelapa sawit menjadi bagian dari bahan baku produk sektor makanan, kebersihan, dan kesehatan.
Di pasar internasional, ekspor sawit Indonesia menghadapi tantangan dari hambatan non tarif seperti isu lingkungan dan kesehatan yang dikampanyekan sejumlah organisasi internasional. Ada pula kebijakan sejumlah negara terhadap minyak sawit seperti kebijakan batas kontaminan 3-monochloropro-pandiol ester (3-MCPD Ester) sebesar 2,5 ppm dan glycidol ester (GE) maksimal 1 ppm, pelabelan makanan, bea masuk anti subsidi kepada biodiesel, dan penghapusan insentif pajak biofuel oleh pemerintah Perancis.
Kasan Muhri mengakui hambatan utama perdagangan sawit dari kebijakan non tarif terutama di Uni Eropa. Maraknya kampanye negatif ditujukan menekan dayasaing sawit. Lantaran, tingginya produktivitas minyak sawit menjadi ancaman bagi minyak nabati yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.
“Sebenarnya, hambatan non tarif ini bagian persaingan dagang. Sawit ini head to head dengan minyak nabati lain di Eropa seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan kanola. Karena, minyak nabati non sawit ini kalah dari segi produktivitas dan harga. Akibatnya sawit terus diganggu dengan kampanye negatif,” jelas Kasan.
Namun demikian, dijelaskan Kasan, hambatan non tarif tidak mampu menggoyahkan kelapa sawit. Terbukti, ekspor sawit dan produk turunannya tetap tinggi ke Uni Eropa mencapai US$ 3,1 miliar pada 2020. Nilai ini lebih tinggi dari tahun 2019 sebesar US$ 3 miliar.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 118)