Semenjak tahun 90-an, ada wacana dan keinginan kuat petani sawit untuk memiliki pabrik pengolah TBS (PKS) sendiri. Keinginan itu banyak yang mendukung. Tapi banyak juga yang mengingatkan sejauh mana kebutuhannya. Juga muncul pertanyaan, kenapa petani harus memiliki pabrik sendiri? Bukankah cukup fokus memproduksi TBS. Selama ini, petani telah mendapatkan informasi bahwa mengelola pabrik jauh lebih menguntungkan. Karena mereka sering merasakan kurang memperoleh harga jual TBS yang adil. Walaupun sudah ada, kemitraan petani dengan pabrik pengolah kelapa sawit (PKS).
Redaksi Majalah Sawit Indonesia berkesempatan mewawancarai Dr. Purwadi. Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper, berikut ini petikan wawancara kami:
Bagaimana pendapat bapak atas keinginan petani sawit untuk memiliki PKS sendiri?
Kalau mampu, petani bisa memiliki pabrik pengolah TBS, kenapa tidak? Memang di Indonesia tidak atau belum ada kelembagaan petani yang punya PKS sendiri. Tapi perlu kita tahu mengapa petani sawit ingin memiliki pabrik sendiri. Walaupun, sebenarnya belum punya pengalaman. Untuk itu, kenapa tidak membangun kemitraan yang sinergis?
Kalau begitu, mengapa petani ingin mengelola dan memiliki pabrik sawit sendiri?
Saya telah berdiskusi dengan sejumlah asosiasi dan beberapa petani yang berpikiran maju. Mereka bertanya kenapa harga TBS ini sangat beragam nilainya dan bisa berbeda antar wilayah. Perbedaannya sampai setengah lebih. Mereka merasakan dinamika harga fluktuatif dan cenderung mendapatkan pembagian nilai yang kurang adil. Bersamaan itu, juga memperoleh informasi bahwa memiliki PKS itu lebih menguntungkan. Dalam perjalanannya pertanyaan ini belum memperoleh penjelasan dan jawaban meyakinkan.
Bagaimana dengan kemampuan finansial yang dimiliki petani untuk memiliki pabrik sawit?
Petani ingin mencoba untuk memilikinya dan ingin mengetahui dengan mengelola pabrik sendiri dapat membuat harga jual TBS lebih tinggi dan adil. Selain bisa memperoleh tambahan keuntungan. Mungkin mencontoh perusahaan yang punya kebun serta PKS. Apa lagi banyak informasi disampaikan bahwa pabrik sawit skala mini cocok untuk mereka, jadi wajar-wajar saja. Secara kelembagaan mereka mulai kompak. Dukungan finansial bersumber dari aset kebun untuk dijadikan jaminan kredit pinjaman. Dengan kalkulasi, pembangunan PKS berkapasitas 30 ton/jam akan membutuhkan pendanaan Rp. 120 miliar. Apa bila, luas kebun petani sekitar 6.000 hektare ini berarti nilainya akan mencapai Rp 500 miliar-Rp 600 miliar.
Saat ini, ketersediaan SDM managerialship untuk mengelola PKS sudah tersedia. Tinggal berhitung, apakah menguntungkan punya PKS sendiri atau cukup bermitra dengan pengusaha PKS dan berkonsetrasi menghasilkan TBS dengan baik. Dalam pandangan saya, berbagai pihak yang memiliki pengetahuan benar sebaiknya bisa membantu memberikan informasi. Dengan begitu kalau petani membuat keputusan pada saatnya tidak keliru.
Berkaitan harga TBS, apa yang membuat harga berbeda dan kurang berkeadilan, sebenarnya apa yang terjadi?
Perbedaan harga ini terjadi antar wilayah dengan kondisi logistik berbeda. Baik diantara kelompok petani seperti petani plasma dengan swadaya. Namun sebenarnya kekuatan utama tetap mekanisme pasar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi; (1) Harga itu terbentuk oleh kekuatan suplai dan permintaan. Berapa jumlah produksi petani dan berapa kapasitas PKS, itu pun ditambah lagi dengan jumlah PKS. Kalau produk petani lebih besar dari kapasitas PKS. Tentu harga TBS semakin tertekan apa lagi jumlah pabrik sawit hanya satu atau beberapa unit. Hal ini bergantung daya tawar di pabrik. Disini, terjadilah struktur pasar monopsoni atau oligopsoni dan pembeli (PKS) lebih menentukan harga pasar. Kendati di wilayah-wilayah tertentu dimana kapasitas PKS memerlukan banyak TBS dan jumlahnya pabrik banyak, maka petani cenderung memperoleh harga yang baik.
(2) Permentan No. 1 tahun 2018 tentang Penetapan Harga Pembelian TBS Petani diharapkan melindungi petani. Namun, aturan ini sebatas mengatur petani plasma yang bermitra penuh dengan perusahaan. Kalau dulu tidak masalah tapi sekarang tidak lagi relevan karena jumlah petani plasma itu sekitar 7,5 %. Lalu bagaimana dengan sisanya 92,5 % tidak memperoleh sesuai standar harga. Memang kualitas buah non plasma diduga lebih rendah dari plasma. Tapi bisa ditambahkan dalam aturannya.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 106)