JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Penahanan Philip Jacobson, Warganegara Amerika Serikat yang berprofesi jurnalis, sebaiknya dihormati semua pihak apabila terbukti melanggar aturan keimigrasian yang berlaku di Indonesia.
Dr. Dinna Wisnu, Pemerhati Hubungan Internasional, menjelaskan bahwa setiap orang yang mengajukan visa akan ditanya maksud kedatangannya. Proses ini berlaku di seluruh dunia, selanjutnya jawaban pihak pemohon akan menentukan apakah maksud kedatangan sesuai dengan visa yang dimohonkan atau tidak.
“Apabila penggunaan visa sesuai permohonan, maka tidak ada masalah. Apabila di lapangan berbeda penggunaannya, dapat dikategorikan pelanggaran. Setiap negara punya pertimbangan yang tidak sama, ” ujarnya.
Prof. Hikmahanto Juwana, Pengamat Hubungan Internasional menyebutkan Ditjen Imigrasi berwenang melakukan penegakan hukum kepada warga negara asing yang diduga melanggar keimigrasian dan penyalahgunaan visa.
Ia berpendapat WNA yang melanggar bisa dideportasi. Langkah ini bagian kepentingan nasional karena Ditjen Imigrasi melakukan penegakan hukum.
Sementara itu, dijelaskan Dinna, sanksi atas pelanggaran visa bermacam-macam seperti deportasi dan larangan datang ke negara tujuan. Beberapa negara ada yang memberikan alasan mendeportasi tetapi ada pula yang tidak. Sebagai contoh beberapa waktu lalu ada beberapa penceramah agama asal Indonesia yang tidak dapat masuk ke Hongkon. Ataupun mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat tidak boleh masuk ke AS kendati punya visa.
Ia menambahkan Ditjen Imigrasi punya pertimbangan pencekalan/penahanan Philip Jacobson. “Apakah terkait dengan aktivitasnya (ditahan) harus ditanyakan langsung ke pemerintah,” katanya.
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM memberikan penjelasan terkait penahanan jurnalis warga negara Amerika Serikat yang berada di Palangkaraya, karena dugaan penyalahgunaan visa izin tinggal.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menjelaskan Philip Jacobson awalnya memakai visa kunjungan. Tetapi di lapangan, ia melakukan kegiatan jurnalistik. Selanjutnya, terdapat informasi awal bahwa Philip Jacobson melakukan kegiatan wawancara yang seharusnya tidak bisa dilakukan karena visa kunjungan yang dipakai berupa visa bisnis.
Ada dugaan bahwa Jacobson melanggar Pasal 122 huruf a Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Imigrasi. Disebutkan bahwa setiap Orang Asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya. Ancaman pelanggaran ini Pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta.
Merujuk rilis Mongabay, pria berusia 30 tahun ini menjadi tahanan kota sejak 17 Desember 201. Jacobson ditahan setelah mengikuti sidang dengar pendapat di DPRD Kalteng dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Penyidik Imigrasi Palangkaraya, Syukran, Rabu (22/1/2020) membenarkan, pihaknya telah menahan Philip Myrer Jacobson, karena selama tinggal di Palangkaraya menyalahi izin tinggal sehingga ditahan karena melanggar UU Keimigrasian.
“Dia kami tahan sejak, Selasa kemarin, saat ini masih diamankan di Rumah Tahanan Negara Palangkaraya, kami sampai 20 hari kedepan, karena selama ini sudah ada peringatan dalam visa tidak boleh bekerja malah melakukan peliputan selama di Palangkaraya,” ujarnya.
Menurut Syukran, saat ini pihaknya sedang melakukan, proses hukum terhadap warga Amerika Serikat tersebut, sehingga dia ditahan untuk mempermudah proses hukum yang dilakukan pihak Imigrasi Palangkaraya.
“Kasusnya sedang kami proses untuk dulimpahkan ke pengadilan,” ujarnya seperti dilansir dari Banjarmasinpost.co.id.
Dinna Wisnu menuturkan publik sebaiknya menghormati tindakan yang diambil Ditjen Imigrasi karena setiap negara punya pertimbangannya sendiri. Semisal dalam kasus tokoh oposisi kamboja tahun lalu. Indonesia menerima kedatangan tokoh oposisi dan aktivis HAM dari kamboja. “Mereka bebas bicara tetapi Malaysia justru menangkap dan menahannya,” pungkasnya.