Bagaimana tanggapan Ibu mengenai penggunaan label palm oil freed yang tercantum dalam produk makanan di Uni Eropa?
Jadi produk yang mencantumkan label “no palm oil” di Eropa sana, kalau kami cermati sebenarnya tidak bisa disimpulkan masih banyak. Para produsennya itu sebenarnya juga sudah menyadari bahwa yang mereka lakukan itu tidak fair.
Di sini, harus ada strategi yang kontinyu, kalau saya lihat harus berkesinambungan dalam mempromosikan sawit dengan dukungan kajian ilmiah yang bisa menjawab tuduhan negatif.
Dari data Ditjen P2HP, dari tahun ke tahun berapa jumlah produk makanan dan non makanan yang memakai label no palm oil?
Kami tidak secara khusus mendata atau memantau itu. Tetapi memang pernah ada kasus di dimana KBRI (red-kedutaan besar RI) kita langsung melaporkan kepada kami. Jadi sifatnya tidak kemudian disimpulkan semakin banyak.
Kami masih melihat masalah label ini case by case. Kalaupun ada masalah label, pihak kedutaan melakukan satu pendekatan atau mungkin langsung ke produsennya. Karena sebenarnya kebijakan pemerintah setempat tidak demikian. Dia juga tahu dong aturan WTO tidak boleh demikian. Mana boleh itu seperti itu, itu namanya mendiskriminasi.
Apakah langkah membuat label no palm oil ini dipengaruhi kebijakan pemerintah di Eropa?
Mesti dibedakan bahwa labelling ini bukan kebijakan tapi kasus. Ada produk industri pengolahan yang mencantumkannya itu. Bukan berarti pemerintah membuat kebijakan dengan mencantumkan label no palm oil. Biar bagaimanapun apabila dikemas dalam sebuah kebijakan bisa dibawa ke WTO, kita punya aturan main perdagangan bilateral
Sebagai contoh di Prancis, sebuah perusahaan ritel namanya System U membuat kampanye negatif terhadap minyak sawit melalui tayangan iklan dan kemasan produk makanan yang bertuliskan “palm oil free”. Namun bukan berarti bisa digeneralisir. Kasus kampanye negatif ini kebanyakan terjadi di Perancis berdasarkan dari laporan kedutaan setempat.
Dari kedutaan itu meminta klarifikasi misalnya apakah betul minyak sawit ini memberikan efek negatif daripada kesehatan, misalnya terhadap kandungan tertentu. Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan sawit menjawab berdasarkan hasil riset. Tidak bisa kita katakan aman begitu saja.
Dari aspek sosial, bisa kita jawab bahwa kehadiran industri kelapa sawit membantu pembangunan satu komunitas, fasilitas sosial yang selama ini mungkin belum bisa dilakukan pemerintah daerah. Misalnya pembangunan sekolah, rumah sakit, dan lain-lain. Tanpa merusak lingkungan karena semuanya sesuai dengan aturan yang berlaku.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Agustus-September 2015)