Kementerian Pertanian diminta membuat payung hukum yang mengatur pembiayaan replanting sawit. Aturan ini sangatlah penting supaya penyaluran dana replanting tepat sasaran. Tahun ini, BPDP menyiapkan anggaran replanting sebesar Rp 800 miliar.
Di luar Ruang Pertemuan Nasional Sawit Indonesia pada akhir Januari 2016, sejumlah petani kasak kusuk membicarakan nasib lahan mereka yang harus diremajakan lantaran umur tanaman sudah di atas 25 tahun. Sebagian besar petani berasal dari wilayah Sumatera seperti Riau dan Sumatera Utara. “Kita punya hak mendapatkan dana pungutan untuk peremajaan lahan kita,” ujar salah seorang petani.
“Jangan hanya biodiesel saja tapi dana untuk peremajaan juga penting. Gara-gara pungutan, harga TBS sempat turun beberapa bulan kemarin,” tambah petani lain.
Keluhan lain datang dari Jamaludin, petani swadaya asal Riau, yang meminta BPDP supaya membantu penggantian tanamannya yang telah berusia lebih 28 tahun. “Sudah saya hitung dana yang dibutuhkan diperkirakan Rp 103 juta per kavling (per kavling= 2 hektare). Mohon ini menjadi perhatian BPDP,”katanya.
Anizar Simanjuntak, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), mengatakan dana BPDP itu ditujukan replanting, riset dan pembinanaan petani serta subsidi biodiesel. Dalam pandangannya, jika dana replanting tidak benar-benar direalisasikan maka asosiasi akan mempertanyakan penggunaan dana tersebut kepada pemerintah.
Untuk memastikan pengucuran dana ini, Apkasindo terlibat dalam komite di BPDP yang bertugas menyeleksi proposal dana replanting. “Perwakilan Apkasindo, Bapak Rino Afrino masuk dalam komite di BPDP,” kata Anizar dalam sambungan lewat telepon.
Hambatan utama dari peremajaan tanaman adalah kepemilikan sertifikasi lahan.Anizar Simanjuntak mengakui masalah besar peremajaan petani yaitu hampir 70 persen kebun rakyat belum bersertifikat. Sertifikat menjadi penting bagi petani karena penyaluran pendanaan akan melewati perbankan. “Makanya, perbankan minta legalitas dari kebun rakyat itu,” kata Anizar.
Dari luas perkebunan sawit rakyat sekitar 4 juta hektare diperkirakan baru 1,2 juta hektare atau 30% yang punya sertifikat. Hampir 70% atau 2,8 juta hektare bermasalah dari aspek legalitasnya.
Bayu Krisnamurthi, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa (BPDP) Sawit, meminta petani peserta program replanting supaya mematuhi regulasi yang berlaku termasuk legalitas perijinan. “Misalkan saja tidak bisa lahan petani berada di kawasan hutan apalagi sampai ada di hutan lindung dan gambut dalam,” kata Bayu.
Di kesempatan terpisah, Bayu sempat menyebutkan program CPO Fund tidak bisa mendanai lahan petani yang status lahan tidak jelas. Ditemukan beberapa kasus lahan petani diduga berada di kawasan hutan.
“Memang, kami harus teliti dalam mengidentifikasi sertifkat lahan milik petani sebelum proses replanting berjalan,” ungkapnya.
Itu sebabnya, Anizar meminta pemerintah supaya masalah legalitas ini cepat diselesaikan. Pasalnya, program replanting bisa saja gagal akibat urusan sertifikasi. “Kami dari Apkasindo juga telah meminta BPN supaya memutihkan lahan petani yang diindikasikan masuk kawasan hutan,” ujarnya.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Februari-15 Maret 2016)