JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalau pemerintah Indonesia takut memanfaatkan gambut untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, sebaiknya Indonesia bisa belajar dengan praktisi dan akademisi gambut di negeri jiran. Hampir 70% perkebunan sawit di Sarawak memakai gambut tetapi tidak terjadi kebakaran seperti di Indonesia. Apa resepnya?
Supiandi Sabiham Guru Besar IPB yang juga Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sahibam menyebutkan sejatinya lahan gambut punya ketahanan ketika terjadi kebakaran. Sayangnya, daya tahan ini seringkali hilang akibat masalah sosial di sekitarnya.
“Ketahanan terhadap daya bakar sebetulnya tinggi di lahan gambut, tapi kemudian ada permasalahan sosial di sekelingnya, ini yang jadi pemicu. Perlu penelitian sosial lanjutan agar ada bisa dicegah. Kebakaran di lahan gambut sangat komplek, tidak bisa disederhanakan,” tegas Supiandi dalam diskusi publik “Memperlakukan Lahan Gambut Dengan Benar”, Rabu (18/11).
Indonesia bisa belajar dari Malaysia dalam pengelolaan gambut. Di Malaysia, khususnya Sarawak sebagian kawasan yang dipakai untuk perkebunan berada di kawasan gambut. “Mereka mampu mengelola kawasan gambut dengan baik karena menerapkan tata kelola air yang baik,” kata Supiandi.
“Tata kelola air yang baik mampu mempertahankan kelembaban lahan gambut serta menjaga cadangan air yang ada” tuturnya.
Saat ini, dari 15 juta hektare gambut di Indonesia, sekitar 4 juta terpakai untuk kegiatan produksi, 4 juta lagi terdegradasi, 2 juta masih berupa semak belukar dan sisanya hutan.
Supiandi menambahkan saat ini masih ada 6 juta hektare lahan gambut yang potensial digunakan untuk lahan perkebunan dan kehutanan seperti karet, akasia dan sawit. Lahan potensial ini punya kedalaman tebal sehingga kurang cocok dipakai tanaman pangan seperti padi dan kedelai yang sistem perakarannya kurang mendukung.
Lullie Melling, Chief Minister Department Tropical Peat Research Laboratory, menyebutkan gambut tidak haram untuk digunakan bagi kepentingan kebun dan pertanian karena sudah ada teknologi yang tepat. Untuk menjaga gambut tetap lembap dapat digunakan teknologi drainase dan pemadatan sehingga ketinggian air tetap terjaga.
“Dengan begitu kebakaran tidak akan terjadi dan produktivitas buah sawit tetap tinggi. Di Malaysia, perkebunan sawit di lahan gambut memiliki produktivitas buah sawit sampai 25 ton per hektare per tahun,” ungkap Lullie.
“Indonesia dan Malaysia tidak perlu takut menggunakan gambutnya untuk perkebunan sawit. Sebab sudah ada teknologi yang bagus seperti pemadatan tanah gambut. Gambut di Eropa berbeda dengan kita (red-Indonesia dan Malaysia). Selain itu, di sini juga banyak hujan sehingga tidak takut terbakar,” jelasnya.
Kunci penggunaan lahan gambut adalah pengelolaan air yang baik dari aspek drainase dan mencukupi kebutuhan air. Menurut Lullie, lahan gambut itu perlu dijaga kelembapannya bukan dibuat basah. Kelembapan sangat penting supaya gambut tidak mudah terbakar dan memberikan produktivitas tinggi bagi tanaman.
Ditambahkan Lullie, perlu dibangun komunikasi yang baik untuk membangun kesadaran publik serta meluruskan asumsi keliru mengenai lahan gambut dan kebakaran gambut. Di Sarawak terdapat 1,6 juta hektare lahan gambut atau 13% dari luas daratan. Selain itu, perkebunan sawit di lahan gambut berkontribusi besar bagi perekonomian setempat untuk menyejahterakan masyarakat dan menggerakkan perekonomian.