Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjaga kontribusi industri sawit sepanjang 2021. Berbagai programnya menyentuh semua kalangan.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurachman menyebut dalam laporan akhir tahun kinerja sektor sawit terhadap perekonomian nasional, dilihat dari Product Domestic Bruto (PDB) hingga kuartal III 2021 menunjukkan trenpositif. Berbeda dengan kondisi pada 2020, pada kuartal II, III dan IV mengalami kontraksi dalam kondisi negatif.
“Hal ini, dipengaruhi program-program yang dijalankan pemerintah pada masa pandemi Covid-19 khususnya dalam menerapkan PEN yang dimulai pada 2020 dan dilanjutkan pada 2021 serta program vaksinasi ternyata memberikan dampak positif pada perekonomian. Sehingga perekonomian nasional tumbuh dengan baik,” ujarnya, saat konferensi pers, pada Selasa (28 Desember 2021), di Jakarta.
“Demikian juga dengan sektor pertanian, perhutanan dan perkebunan selalu menunjukkan trenpositif, sehingga peranan sektor industri kelapa yang menjadi bagian dari sektor pertanian dapat menjaga perekonomian nasional. Dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja sektor perkebunan sawit memberikan kontribusi yang cukup besar mampu memberikan peluang kerja sebesar 16,2 juta pekerja di sisi hulu dan hilirnya. Melibatkan 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung dan didalamnyaa da 2,4 juta petani sawit rakyat,” tambah Eddy.
Dari sisi produksi, sejak didirikannya BPDPKS pada 2015 – 2020 rata-rata sebesar 39,844 juta metrik ton. Sementara dari sisi nilai konsumsi produk sawit rata-rata pertahun Rp35,2 triliun, sedangkan rata-rata nilai ekspor rata-rata pertahun sebesar US20,67 miliar atau rata-rata 14% dari total ekspor non migasdi Indonesia. Sedangkan kontribusi sawit dalam penerimaan negara dalam bentuk penerimaan pajak bisa mencapai kurang lebih Rp20 triliun. “Dari data yang ada, industri sawit memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian nasional,” kata Eddy.
Sejak dirikan pada 2015 lalu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memiliki tiga misi yakni menghimpun dana daripungutan CPO dan turunannya, dikelola dan disalurkan kembali melalui program-program. Di antaranya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), program insentif Biodiesel, program penelitian dan pengembangan (litbang), program pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), program Sarana dan Prasarana, program promosi.
Penghimpunan dana yang dilakukan BPDPKS dari tahun 2015 – 2021, berada dalam rentang Rp6,9 triliun– Rp71,6 triliun dengan rata-rata pungutan ekspor sebesar Rp19,88triliun. Bahwa pungutan ekspor hingga 17 Desember 2021 mencapai Rp71,6 triliun, ini adalah pungutan terbesar yang diperoleh sepanjang sejarah berdirinya BPDPKS. Sementara volume CPO pada periode 2015 – November 2021 berada dalam rentang 18,49 juta-40,77 juta metrik ton, dengan rata-rata sebesar 34,6 juta metrik ton/tahun. Kecenderungan volume produksi dari tahun ketahun terus meningkat.
Sedangkan dari nilai ekspor di tahun 2021 nilai ekspor mencapai US28,99 miliar dan volume ekspor sebesar US35,88 miliar. Kalau dilihat rata-ratanya dari 2015 – 2021 berada dalam rentang US7,7 miliar– US30,32 miliar atau rata-ratanya US20,86 miliar, sedangkan volume ekspornya berada dalam rentang 18,49 juta metrik ton – 40,77 juta metrik ton atau dengan rata-rata volume ekspor 34,40 juta metrik ton.
Tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit, termasuk Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya, ditetapkan berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan dengan cut off perhitungan pungutan tarif tersebut adalah tanggal penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku 7 hari setelah diundangkan pada 25 Juni 2021 (mulai berlaku pada 2 Juli 2021).
Sesuai PMK Nomor 76/PMK.05/2021, batas pengenaan tarif progresif berubah yang semula pada harga CPO US$670/MT menjadi US$750/MT. “Apa bila harga CPO di bawah atau sama dengan US$750/MT, maka tarif pungutan ekspor tetap, yaitu misalnya untuk tarif produk crude adalah sebesar US$55/MT. Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50/MT, maka tarif pungutan ekspor naik sebesar US$20/MT untuk produk crude, dan US$16/MT untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$1000. Apa bila harga CPO di atas US$1000, maka tarif tetap sesuai tarif tertinggi masing-masing produk,” jelas Eddy.
Di masa pandemi Covid-19 Industri Sawit tetap Berkontribusi
Sebagai lembaga pengelola dana, BPDPKS memastikan prinsip “from palm oil to palm oil” diterapkan di setiap program. Kinerja penghimpunan dana BPDPKS di tahun 2021 dari pungutan ekspor sawit mencapai lebih dari Rp69 triliun yang digunakan untuk menjalankan program-program yang meliputi pemberian dukungan untuk program mandatori biodiesel, peremajaan sawit rakyat, penyediaan sarana dan prasarana kelapa sawit, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia, serta program promosi dan kemitraan.
Selanjutnya, Eddy menambahkan pada periode perlambatan ekonomi yang ekstrem seperti yang dialami Indonesia akibat kemunculan Covid-19 tahun 2020, industri sawit adalah satu dari sedikit kegiatan ekonomi yang masih berjalan dengan baik dan menyumbangkan kekuatan finansial bagi Indonesia. “Kegiatan operasional di perkebunan kelapa sawit tetap berjalan normal dengan tetap memberlakukan protokol Kesehatan yang ketat sehingga petani dan tenaga kerja di sektor sawit tetap terjamin kesejahteraannya di tengah masa pandemi. Disamping itu tentunya, keberhasilan pemerintah yang terus konsisten dalam implementasi seluruh program kerja BPDPKS sehingga dapat terlaksana pada tahun 2021,” tambahnya.
Seluruh kegiatan prioritas yang dilakukan oleh BPDPKS ditujukan dalam rangka pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dengan tujuan utama menjaga stabilisasi harga dan efisiensi biaya produksi yang dilakukan melalui penciptaan kualitas produk yang unggul, kepastian supply, kepastian pasar dan tersedianya infrastruktur yang mendukung, utamanya untuk melakukan transformasi kesejahteraan rakyat melalui industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 123)