Di sela-sela kesibukannya, Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Kader Perkebunan Yogyakarta (YPKPY), Dr. Ir. Purwadi, MS. Menerima wawancara redaksi di Jakarta terkait rencana penyelenggaraan FoSI 2023.
Event tahunan ini akan berbeda dari FoSI 2022 karena akan fokus mengawal rekomendasi dari kegiatan tahun lalu. Di tahun ini, fokus kegiatan juga akan diprioritaskan terkait dengan daya saing di perkebunan sebagai kegiatan dasar dalam industri kelapa sawit.
Berikut ini petikan wawancara Qayuum Amri, Pemimpin Redaksi yang dirangkum dalam format tanya jawab:
Q: Selamat Pagi Pak Pur, Di Yogykarta tanggal 23-24 Nopember akan diselenggarakan Forum Sawit Indonesia 2023 (FoSI 2023), bagaimana persiapannya?
P: Saat ini tinggal 5 minggu, dan sudah delapan puluh persen, tinggal menunggu beberapa kepastian yang memang biasanya baru beberapa minggu dapat dipastikan.
Q: Barangkali bisa dijelaskan terkait FoSI 2023?
P: INSTIPER melalui Pusat Sains Kelapa Sawit (PSKS), Bersama stakeholder telah sukses, menyelenggarakan FoSI-2022. Telah diperoleh kesimpulan dan rekomendasi terkait dengan kerangka pikir dan usulan kebijakan meliputi, visi, misi, dan peta jalan Sawit Indonesia Menuju 2045. FoSI tahun ini mengambil tema “Membangun Daya Saing di Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Ekosistem Bisnis Sinergis.” Untuk penyelenggaraan, seperti tahun lalu didukung BPDP-KS, PTPN Holding dan oleh teman-teman asosiasi : DMSI, GAPKI, APKASINDO, GIMNI, APROBI, APOLIN, AIMNI
Q: Bisa dijelaskan lebih lengkap?
P: FoSI 2022, telah merumuskan: Visi Sawit Indonesia 2045: Menjadi produsen, eksportir CPO dan hasil turunan, terbesar di dunia dan dihasilkan melalui proses produksi yang berkelanjutan serta menjadi pemimpin pasar (market leader), berkontribusi pada pencapaian target SDGs di dalam negeri dan pada masyarakat dunia melalui pangan fungsional dan energi baru terbarukan. Misi Sawit Indonesia 2045: Luas lahan sawit akan mencapai 22 juta hektar, 50 persen dari luas tersebut dikelola oleh korporasi dan 50 persen oleh petani. Produksi CPO akan mencapai 90 – 100 juta ton, dengan kontribusi petani sebesar 40 persen dan korporasi sebesar 50 persen. Juga telah dirumuskan peta jalan kebijakan yang mampu membangun ekosistem bisnis kelapa sawit merawat dan mendorong industri dan bisnis ini.
FoSi 2023, selanjutnya akan mengawal rekomendasi yang telah disampaikan untuk membangun ekosistem bisnis tadi. Pada tahun 2023, juga akan diprioritaskan terkait dengan daya saing di perkebunan sebagai kegiatan dasar dalam industri kelapa sawit. Kenapa Demikian? Daya saing sistem industri harus dipandang sebagai sistem proses industri ‘end to end’, melalui sistem proses yang efisien dengan hasil akhir harga pokok yang kompetitif di pasar global. Bagi industri berbasis biomassa, maka efisiensi sistem industri dimulai dari keragaan industri biomass-nya, yaitu daya saing di tingkat “kebun (on farm)”.
Q: Bagaimana dengan ekosistem industri sawit saat ini?
P: Kalau kita diskusi dengan teman-teman industri sawit baik perusahaan besar maupun rakyat, saat ini mereka sebenarnya sedang “resah” dan bersifat “wait and see”. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena saat harga komoditas yang tinggi, sebenarnya dapat digunakan sebagai momentum membangun loncatan industri. Tiga tahun terakhir harga CPO cenderung tinggi, walaupun kadang sedikit melemah, namun momentum ini tidak bisa dimanfaatkan, karena kisruh kebijakan minyak goreng, dilanjutkan kenaikan harga pupuk yang sangat tinggi, ancaman kekeringan akibat el nino, isu EUDR dilanjutkan dengan penertiban tatakelola sawit melalui satgas terus model perdagangan berjangka kelapa sawit yang belum jelas, dilanjutkan dengan kondisi politik mengahadapi pemilu dan pemimpin baru?
Hal-hal ini telah mengarahkan pada ekosistem yang kurang mendukung perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Kurangnya konsistensi pemerintah mengawal kebijakan sampai operasional di lapangan, kegaduhan, disinformasi kebijakan-kebijakan baru. Semua hal tadi pada kenyataannya akan mempengaruhi bisnis perkebunan dan industri kelapa sawit yang merupakan investasi jangka Panjang 25–50-75 tahun. Bukankah saat ini hanya sawit, yang merupakan komoditas yang mememiliki daya saing yang paling tinggi dan renewable. Jangan sampai pada saatnya kelapa sawit habis, mengikuti sejarah-sejarah komoditas lainnya seperti gula, karet dan yang lainnya. Gagal membangun daya saing, gagal berkelanjutan, dan itu semua karena kondisi ekosistem bisnis dari kebijakan-kebijakan yang kurang sesuai dan pelaksanaanya yang tidak konsisten. Yang tidak merawat dan tidak mendorong daya saing komoditas dalam jangka Panjang.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 144)