JAKARTA SAWIT INDONESIA – Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung keberlanjutan program sawit yang berada di bawah pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Semenjak tahun ini, BPDP-KS semakin gesit untuk merealisasikan program sawit bagi petani seperti peremajaan, beasiswa anak Petani/Buruh Tani, dan sarana prasarana (Sarpras).
“Kami memberikan apresiasi dan hormat kepada BPDP-KS yang dinakhodai Bapak Eddy Abdurrahman. Dukungan bagi petani sangat dirasakan melalui berbagai terobosan kebijakan sesuai arahan Komite Pengarah BPDP-KS,” ujar Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) di Graha Mandiri, Jakarta, Senin (20 Juli 2020).
Pertemuan resmi ini dihadiri jajaran pengurus dan dewan pembina/dewan pakar APKASINDO antara lain Rino Afrino (Sekjen), Mayjen TNI (Purn) Erro Kusnara (Dewan Pembina), Syaiful Bahari (Dewan Pakar) dan Dr. Tri Chandra (Dewan Pakar). Jajaran direksi BPDP-KS antara lain Eddy Abdurrahman (Direktur Utama), Anwar Sanuri (Direktur), dan Edy Wibowo (Direktur).
Dalam pertemuan ini, Gulat menyampaikan hasil rangkaian diskusi webinar yang diselenggarakan DPP APKASINDO sebanyak sembilan sesi dari Mei hingga Juni 2020. Dalam setiap sesi, diskusi dihadiri lebih dari 280 peserta berasal dari 117 kabupaten/kota Apkasindo dari 22 provinsi Apkasindo se-Indonesia. Melalui diskusi ini, petani memperoleh sosialisasi dan edukasi mengenai Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), Pajak, Administrasi Pelaporan PSR, beserta implementasi dan pengelolaan PSR secara GAP (good agriculture practise) dan penutupannya di Sesi-9 langsung dihadiri oleh Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO, Jend TNI (Purn) Dr. Moeldoko, S.IP.
“Petani dapat memahami PSR lebih baik mulai dari persyaratan sampai teknis pengerjaan. Secara tidak langsung, petani telah naik kelas karena memanfaatkan teknologi seperti zoom untuk mengikuti jalannya diskusi,” jelas Gulat.
Ada beberapa rekomendasi dari diskusi PSR yang dapat memperkuat program ini. Gulat menerangkan peserta PSR masih kesulitan untuk memperoleh pinjaman dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai dana pendamping dana bantuan BPDPKS. Padahal, petani PSR ini berada di level grade-A yang clean and clear. Apalagi, mampu memenuhi persyaratan PSR seperti legalitas dan kelembagaan. Dengan bantuan Dana PSR ini, maka nilai aset kebun petani per hektar naik menjadi rata-rata 80 juta/ha. Akan tetapi, pihak bank penyalur dana PSR mengabaikan kemampuan petani, padahal dana pendamping yang dipinjam dari Bank hanya Rp 25 juta an. Sebagai alternatifnya, Petani terpaksa memanfaatkan dana pinjaman bank dengan bunga komersil, karena sudah terlanjur sawitnya ditumbang.
Presiden sudah berkali-kali menyampaikan dibeberapa kali lauching PSR bahwa dana KUR 7% akan menjadi dana pendamping PSR, namun harapan tersebut masih perlu dikomunikasikan ke bank penyalur.
“Harapan kami, Pak Dirut (Eddy Abdurrahman) dapat mengkomunikasikan masalah ini kepada bank penyalur. Tujuaannya mempermudah akses KUR kepada peserta peremajaan sawit. Bisa dibuat skema KUR khusus PSR,” ujar Gulat.
Gulat menjelaskan dana KUR ini sangatlah penting untuk menyokong kegiatan peremajaan sawit di tahapan P1-P3, karena dana bantuan hibah PSR tersebut hanya mampu di P0. Sementara P1, P2, P3 adalah tahapan proses perawatan tanaman sampai menjelang menghasilkan (panen). Jika dana KUR ini tidak dapat terealisasi, maka tujuan PSR memperbaiki produktivitas sawit petani akan terganggu.
Poin penting lainnya adalah banyak petani yang mau ikut PSR namun kebun sawitnya masih terjebak dalam status kawasan hutan, padahal sawitnya sudah berumur diatas 20 tahun, Pemerintah harus hadir membantu menyelesaikan status kawasan ini, sebab PSR adalah program strategis Pemerintah.
Berkaitan program sarana prasarana, menurut Gulat, petani sangat mengharapkan dukungan BPDP-KS bagi perbaikan infrastruktur transportasi Tandan Buah Segar (TBS) dan pabrik sawit. Sebagai contoh, bantuan kapal motor pong-pong untuk membantu pengangkutan TBS di kebun petani. Pong-pong dapat menjadi alternative membawa buah sawit ke pabrik sawit yang berada di dekat sungai, ini akan menekan biaya produksi.
Khusus hilirisasi melalui PKS Petani yang hangat dibahas pada zoom tersebut, Gulat berharap BPDP-KS membuat terobosan dan studi kelayakan untuk menjadi referensi dan acuan. Hingga sekarang, tidak ada pabrik sawit yang khusus dimiliki dan dikelola petani. Berdirinya pabrik sawit petani dapat menjadi percontohan dalam upaya menopang harga TBS di tingkat petani. Selain itu, kehadirannya akan membantu pemenuhan kebutuhan CPO untuk bahan bakar terbarukan seperti D100 dan B30, ini sangat strategis,” ujar Gulat.
Roh PSR adalah intensifikasi, dengan PSR ini maka produktifitas sawit Petani akan naik 4-5 kali lipat tanpa menambah luas lahan, jadi harus diantisipasi melalui PKS petani.
“Jika pabrik sawit petani dapat terwujud, maka pecah telur program sarana prasana ini, sudah 5 tahun BPDPKS berdiri namun belum pernah dicairkan. Bagi petani, sudah saatnya petani menjual CPO, tidak lagi TBS. Kami ingin petani ini bisa move on dan naik kelas dengan dara base yang lengkap dan digital,” ujarnya.
Rino Afrino, Sekjen APKASINDO, mengusulkan sejumlah lokasi yang ideal dijadikan pilot project pabrik sawit petani antara lain di daerah Mamugo, Kabupaten Rokan Hilir, Riau dan Sulawesi Barat. Daerah Mamugo tersebut tidak jauh dari Refineri Unit II Dumai Pertamina, hanya 1 jam. Dengan begitu, hasil produksi CPO petani dapat diserap Pertamina menjadi bahan baku D100. Sebagaimana keinginan Dirut Pertamina yang meminta jaminan pasokan di dalam negeri, kami Petani APKASINDO siap mewujudkannya.
“APKASINDO sangat mendukung program D100 Pertamina. Program ini sangat bagus bagi ketahanan energi bangsa. Selain itu, ketika ISPO diwajibkan bagi petani. Maka bagi petani yang belum ISPO, buah sawitnya dapat dipakai untuk kebutuhan domestik dibandingkan pasar ekspor. Ngapain ngeributin ISPO jika Pertamina bisa menampung CPO Petani,” ujar Rino yang juga Auditor ISPO ini.
Dewan Pembina DPP APKASINDO, Mayjen TNI (Purn) Erro Kusnara, S.IP mengusulkan seleksi beasiswa bagi anak-anak petani sawit dapat terwakili dalam program tersebut. Itu sebabnya, perlu mempertimbangkan keterwakilan baik berdasarkan daerah dan profesi orangtuanya serta persyaratannya jangan ribet-ribet. Karena program ini dapat menjadi batu loncatan bagi anak petani untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi mereka. Tujuan lain, anak petani peserta beasiswa dapat disalurkan membantu program PSR sebagai tenaga pendamping Sarpras.
Pun, Gulat Manurung sangat sepakat dengan usulan menjadikan peserta beasiswa sebagai tenaga pendamping PSR. “Kemampuan dan ilmu mereka akan terpakai setelah lulus, anak-anak D1 Sawit Beasiswa BPDPKS ini sangat profesional dan cekatan. Alumni Beasiswa BPDPKS ini akan mempermudah kerja kelompok petani PSR dan Sarpras di lapangan,” ungkapnya.
Eddy Abdurrahman, Direktur Utama BPDP-KS, menyambut beragam masukan dan usulan strategis DPP APKASINDO untuk memperkuat dan tentunya mempermudah kerja BPDP-KS, kami berharap diskusi yang bermanfaat semacam ini bisa rutin diagendakan, kami ingin masukan konstruktif. Pihak sangat terbuka untuk menerima informasi berkaitan persoalan di lapangan seperti PSR dan Beasiswa anak Petani dan Buruh Tani. Dirinya ingin peremajaan sawit ini dapat bergerak cepat dengan dukungan berbagai pihak termasuk petani.
“Dalam pandangan saya, PSR ini bertujuan mulia untuk membantu pengentasan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat daerah sentra sawit, produksi petani harus setara dengan korporasi melalui PSR,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia menjelaskan bahwa komitmen BPDP-KS terhadap program biodiesel atau B30 dan D100 merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Program ini sangat penting menjaga stabilitas harga sawit di dalam negeri. Sebab, komposisi pasar ekspor sawit sebesar 70% dan 30% domestik. Apabila, B30 atau D100 tidak berjalan akan berdampak bagi harga TBS petani karena minim penyerapan domestik.
“Kebijakan B30 Presiden Jokowi ini sangatlah visioner dan baik sekali untuk membantu sektor industri sawit apalagi dalam kondisi sekarang,” ujar Eddy yang pernah menjabat Sekretaris Menko Perekonomian ini.
Senada dengan Dirut BDPD-KS. Gulat Manurung menyetujui program B30 terus dilanjutkan karena efek positifnya nyata dirasakan petani sawit. Ditengah melemahnya pasar ekspor, maka kebutuhan domestik merupakan penyangga suplai dan produksi buah serta minyak sawit yang dihasilkan perkebunan swasta, petani, dan negara.
“Apabila ada pihak mengecam B30 dan pungutan ekspor, saya kira mereka itu bukan petani dan ingin mengusik saja. Wajar saja karena mereka bukan petani dan tidak merasakan manfaat pungutan ekspor bagi perkebunan sawit petani,” pungkas Gulat.