JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Penurunan harga minyak bumi yang berimbas kepada biodiesel membuat pengusaha biodiesel kelimpungan. Pemerintah diminta tetap menjalankan program ini sebagai bagian penghiliran sawit dan komitmen terhadap perubahan iklim.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), meminta pemerintah untuk turun tangan menyikapi pelaksanaan mandatori biodiesel yang ditargetkan naik dari B15 menjadi B20 pada tahun ini. Mengingat, harga minyak bumi telah berada di bawah US$ 30 dolar per barel.
Untuk itu, dia mengusulkan enam opsi supaya mandatori B20 terus jalan. Pertama, BLU mencari solusi lain untuk penambahan dana subsidi biodiesel. Kedua, harga indeks pasar (HIP) biodiesel diturunkan supaya selisih subsidi tidak melebar. Ketiga, kelebihan selisih harga biodiesel dibebankan kepada masyarakat.
Keempat,kata Paulus, kekurangan subsidi ditanggung pemerintah lewat sumber dana lain seperti APBN atau sumber lainnya. Kelima, area pendistribusian B20 dikurangi misalkan terbatas untuk Pulau Jawa. Opsi terakhir adalah mengurangi target pencampuran biodiesel B 20% (B20). “Dikurangi berapa itu harus dibahas pemerintah bersama pelaku usaha,” ujarnya.
Paulus Tjakrawan mengingatkan implementasi mandatori biodiesel sangatlah penting sebagai tindak lanjut Konferensi Perubahan Iklim (COP21) di Prancis. Pasalnya, biodiesel punya kemampuan menghemat emisi karbon sampai 18 juta ton CO2. Untuk itu, komitmen memangkas emisi gas rumah kaca sebaiknya dibarengi komitmen pendanaan.
“Perlu ada kompensasi dana untuk mengurangi emisi. Tidak bisa tanpa dana, apakah itu bersumber dari masyarakat atau pemerintah,” jelas Paulus.
Pada tahun ini, kapasitas industri biodiesel akan bertambah menjadi 8 juta Kl. Dengan adanya tambahan investasi baru sekitar 1,5 juta Kl. Diharapkan program B20 dapat meningkatkan serapan domestik hingga 7 juta Kl. “Tahun ini, belum ada rencana ekspor biodiesel,” pungkas Paulus.