JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) peringatkan potensi kehilangan tiga dimensi sekaligus terkait penerapan pasal 110B UU Cipta Kerja.
Hal ini berdasarkan catatan APKASINDO bahwa terdapat 76 persen atau 2,56 juta hektar dari 3,3 juta hektar kawasan yang telah dilaporkan oleh perusahaan dan petani sawit melalui terbitnya SK Data dan Informasi KLHK dari SK 1-14. Dari 2,56 juta hektar tersebut, petani sawit hanya 18%.
Jika angka 2,56 juta hektar tersebut digunakan sebagai angka final, maka Indonesia diprediksi kehilangan eksisting perkebunan sawit seluas 2,2 juta ha ditambah 500 ribu ha yang belum melaporkan diri.
“Bahwa 86% dari SK Datin yang sudah terbit tersebut (2,2 juta hektar), berpotensi dikenakan (diarahkan) ke Pasal 110B, di mana pasal ini mewajibkan denda serta menegaskan tidak boleh di-replanting atau hanya satu daur,” kata Dr.Gulat ME Manurung, MP.C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO.
“Jika ini terjadi maka Indonesia akan kehilangan 2,7 juta-2,8 juta ha kebun sawit 5-10 tahun ke depan. Karena yang kena Pasal 110 B, selain kena denda juga tidak boleh direplanting (hanya 1 daur),” ujar Gulat, Jumat (6/10/2023).
Dari penelusuran Apkasindo, rata-rata yang mengajukan permohonan ini umur sawitnya berada mayoritas di umur 10-15 tahun. Yang artinya 5-10 tahun kedepan akan masuk masa replanting.
Jika ini terjadi maka negara kehilangan potensi pemasukan devisa negara paling tidak Rp119 triliun per tahun serta kehilangan pemasukan dari Bea Keluar dan pungutan ekspor (levy) Rp112 triliun per tahun.
“Ini sangat krusial untuk didiskusikan kembali, apakah memang harus seperti itu? Apakah gak ada cara lain?” tanya Gulat.
“Petani setuju perbaikan tata kelola sawit Indonesia, tapi tidak dengan cara mem ‘phase out’ yang sudah ada, silahkan didenda dengan angka yang masuk akal, tapi kebun sawitnya bisa di-replanting” ujar Gulat.
Menurutnya, Pak LBP sudah mengatakan dalam konpres Satgas sawit beberapa bulan lalu bahwa atas kondisi sawit yang eksisting saat ini (3,3 juta hektar) di klaim masuk kawasan hutan, adalah juga kesalahan pejabat pemerintah di masa lalu maupun stakeholder sawitnya.
“Pak LBP mengatakan pada konpres tersebut bahwa yang penting adalah menuju perbaikan tata kelola sawit ke depannya,” kata Gulat.
Gulat kembali menuturkan bahwa keunggulan Indonesia adalah industri hulu-hilir sawit dan semua negara di dunia ini memimpikan sawit bisa tumbuh subur di negara mereka “kok malah kita mengesampingkan keunggulan tersebut”.
Kebijakan tersebut justru menghilangkan investasi yang sudah ada eksisting apalagi masyarakat ada di dalamnya.
“Jadi hal ini sangat bertentangan dengan maksud Presiden Jokowi dan Ketua Satgas Sawit. Menurut saya Roh dari dibentuknya Satgas Sawit tersebut adalah Tatakelola dan Peningkatan Pemasukan Negara, clear. Gak ada disebut mencabuti atau mematikan sawit yang sudah eksisting tertanam tahun 2020 ke bawah,” jelasnya.
“Kok malah kesannya aturan yang diterbitkan KLHK lebih kejam dari EUDR, karena EUDR malah mengatakan tidak mempermasalahkan sawit yang sudah tertanam tahun 2020 ke bawah,” urai Gulat.
Namun dikatakan kata Gulat, petani sawit berkeyakinan bahwa KLHK tidak bermaksud demikian, memang terjadi kegamangan kebijakan yang terjadi telah membuat kondisi ekonomi petani sawit penuh dengan ketidakpastian dan mengancam masa depan.
“Di level kami petani sawit saja sangat merasakan bahwa kejadian terkait tekanan kepada sawit Indonesia ada peran agen asing yg sudah masuk secara masif, sistematis, dan terstruktur, terkhusus mempengaruhi kebijakan yang akan dirancang dan merevisi kebijakan terkait sawit yang sudah terbit supaya diubah,” tuturnya.
“Ya benar ada pasal 110-A yang mengatakan bahwa jika lahanya 5 hektar ke bawah, sudah dikuasai minimum 5 tahun, berdomisili di sekitar kebun serta memiliki STDB maka tidak akan di denda dan langsung dirubah statusnya kawasannya,” urai Gulat.
“Pertanyaannya berapa persen yang bisa masuk ke pasal 110-A tersebut ? Saya kira gak lebih dari 15%. Makanya saya sebut diawal tadi bahwa Pasal 110-B silahkan didenda tapi harus memperbolehkan replanting, jadi aturan itu harus dirubah, hanya kitab suci yang gak boleh dirubah,” kata Gulat.
“Kami berharap Pemerintah melalui KLHK dapat mempertimbangkan usulan kami ini terkait Pasal 110-B, karena kalau tetap tidak boleh di replanting maka potensi kehilangan luasan kebun sawit eksisting saat ini akan terjadi dan Indonesia akan rugi tiga dimensi sekaligus yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi lingkungan,” pungkas Gulat.
Penulis: Indra Gunawan