JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah berancang-ancang merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia melalui konsultasi publik bersama stakeholder sawit.
Terkait perubahan ini, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mewanti-wanti supaya proses perubahan Perpres ISPO jangan kembali diboncengi Kepentingan Asing dan hal ini akan disampaikan melalui surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Petani sawit menyampaikan usulan dan pandangan agar regulasi ISPO benar-benar membumi, dapat dilaksanakan dan tidak mengawang-awang terutama bagi kalangan petani sawit.
Pandangan ini disampaikan Sekjen DPP APKASINDO, Dr. Rino Afrino dalam Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Presiden Tentang Perubahan Perpres ISPO di Jakarta, Rabu (20/9). Dari catatan APKASINDO semenjak 2011-2023 realisasi ISPO petani sangat rendah, hanya 0,38% dari 6,87 juta hektar perkebunan sawit yang dikelola oleh pekebun.
“Apa yang kami cemaskan bahwa petani sawit jangan dimandatorikan dulu sejak pembahasan Draft Perpres ISPO dari 2018-2020 clear terbukti, kami tidak di dengar dan tiba-tiba di masa-masa awal pandemi Covid langsung tok Perpres ISPO 2020 terbit,” ujar Rino.
Faktanya sejak Perpres ISPO 2020 disahkan sampai bulan Agustus 2023 tidak lebih (hanya) dari 3.500 ha kebun petani yang berhasil ISPO atau totalnya sejak ISPO masih permentan hanya 22.096 hektar atau sekitar 0,38%, itu data kami Apkasindo dan ini harus menjadi catatan serius Kemenko Perekonomian, lanjut Rino.
Tim Perancang Revisi Perpres ISPO jangan mengulangi kesalahan yang sama, tegas Rino. Tim Perancang revisi Perpres ISPO harus mengkaji lebih dalam “apa sebenarnya penyebab gagalnya petani sawit masuk ke ISPO, bukan malah menambah-nambah pasal-pasal yang justru semakin merunyamkan persoalan semakin ribet”.
Tidak susah mengkajinya, permasalahan yang terjadi meliputi, sulitnya pemenuhan dokumen (STDB, SPPL, PEMBERKASAN), tidak beresolusinya permasalahan Legalitas lahan petani, sosialisasi yang sangat langka, tidak adanya pelatihan bagi petani yang ingin mendapatkan ISPO, Tidak adanya pendampingan dari K/L terkait, tidak adanya insentif harga TBS bagi pemilik sertifikasi ISPO, rendahnya kepatuhan perusahaan ISPO terhadap Harga TBS serta kemitraan dengan Pekebun dan pembiayaan ISPO yang mahal.
“Kami bukan bermaksud menggurui, tapi apa yang akan kami sampaikan ini adalah tentang diri kami, bukan menceritakan orang lain atau berasumsi dan mengawang-awang” ujar Rino.
Petani sawit di Indonesia berdasarkan sejarah pengelolaannya secara garis besar dibagi dalam tiga tipologi. Pertama, Petani Pola Inti Plasma Program Pemerintah (PBN) dan PBS dengan luasan mencapai sekitar 1.000.000 Ha dengan karakteristik dalam satu hamparan, mempunyai kelembagaan, kebun sawit dibangun oleh inti dan berlokasi dekat Perusahaan.
Kedua, petani Peserta Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) baik petani swadaya maupun petani bermitra, dengan luasan mencapai hampir 300.000 ha dengan karakteristik “Clean dan Clear” memenuhi 14 Persyaratan dokumen PSR.
Ketiga, petani swadaya dengan luasan mencapai 5.500.000 Ha dengan karakteristik sebahagian belum berkelembagaan, kebun berpencar, pengelolaan kebun dan administrasi belum baik, status lahan belum clear, tidak memiliki STDB dan banyak permasalahan lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, jelas Rino, diharapkan revisi Perpres ISPO dapat benar benar fokus ditujukan untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut dengan membuat skala prioritas sesuai dengan tipologi tadi, bukan menyamaratakan.
“Sebelum masuk ke pasal-pasal yang akan kami usulkan diperkuat, kami petani sawit yang sudah disekolahkan menjadi auditor ISPO sebanyak 28 orang bersepakat menyimpulkan bahwa menyelelesaikan hambatan petani menuju ISPO harus ada pengelompokan, seperti saya jelaskan tadi” kata Rino.
Untuk itu kami mengusulkan dalam kesempatan ini supaya petani dalam menuju ISPO harus dikelompokkan dalam konsep “Relative ISPO” itu roh nya. Dan Relative ISPO Pekebun itu kami usulkan dibagi dalam empat cluster dan Ketua Umum DPP APKASINDO mengatakan setuju revisi jika Relative ISPO ini dimasukkan.
Empat Cluster Relative ISPO untuk Pekebun antara lain cluster Diamond, Gold, Silver, Iron. Cluster ini kami ukur berdasarkan capaian lima Prinsip dan Kriteria ISPO.
Untuk cluster Diamon sangat jelas yaitu petani tipologi (1) dan tipologi (2) berdasarkan sejarah pengelolaannya tadi, yang jika di total luasnya mencapai 1,3 juta hektar. Tipologi ini sudah pasti memenuhi lima kriteria dan prinsip ISPO. Silahkan dibidik sehingga realisasi ispo petani kita menjadi jelas dan terukur. Jika fokus pada tipologi ini maka dapat di targetkan 100 ribu ha/tahun lahan petani yang mendapatkan ISPO
Berikutnya Cluster Gold, Silver dan Iron adalah masuk ke tipologi sejarah pengelolaannya (3) tadi, yang 5,5 juta hektar.
“Spesifikasi untuk Tipologi Gold yaitu jika pekebun memiliki kekurangan 1-2 dari lima kriteria dan prinsip ISPO. Untuk Yang Cluster Silver memiliki kekurangan 3-4 dari lima kriteria dan prinsip ISPO, sedangkan yang Cluster Iron sama sekali pekebun tersebut tidak memenuhi lima kriteria dan prinsip ISPO. Untuk yang Cluster Iron ini memang sulit untuk di tolong, misalnya lahannya berada dalam Kawasan hutan lindung dimana daya dukung lokasi kebun petani tersebut masih sangat tinggi untuk dihutankan Kembali’ kata Rino.
Namun yang pasti untuk cluster Silver secara berangsur akan naik kelas menuju Gold dan selanjutnya menuju diamond. Demikian juga untuk yang Gold diberikan tenggang waktu untuk naik kelas menuju Diamond. “Jadi semua kelompok Silver, Gold dan Diamond yang penting ISPO dulu berdasarkan clusternya” urai Rino.
Dengan demikian realisasinya dapat tercapai, tepat sasaran, terukur dan bermanfaat khususnya bagi petani kelapa sawit, jadi tidak mengawang-awang atau muluk-muluk” kata Rino.
Selanjutnya Rino menjelaskan penekanan kajian terhadap pasal-pasal draft revisi Perpres ISPO.
”Di Pasal 4 Ayat 1 dan Pasal 6 Ayat 1, dihapus karena kita jangan memasang perangkap sendiri. Kita belum beres di hulu kok sudah ke hilir, focus saja dulu ke hulu. Intinya kami rekomendasikan ISPO industri hilir dan bioenergy dihapuskan. Masak iya nanti akan ada Migor ISPO, Biodisel ISPO, Gincu ISPO, Loution ISPO dan lain-lain, ini akan ibarat buah simalakama. Ini akan secara sistematis membunuh kami petani sawit” tegas Doktor lulusan Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini.
Menurutnya, sertifikasi ISPO di sektor hulu perkebunan secara total saja belum sampai 20%, kita bereskan dulu hulu.
Berikutnya di pasal 18 ayat 3, APKASINDO menyambut baik pendanaan untuk sertifikasi bagi petani yang bersumber dari BPDPKS. Namun perlu ditambahkan dukungan pembiayaan untuk Pelatihan Pra-kondisi ISPO, Penyediaan perlengkapan safety, ATK, peralatan lainnya.
Di Pasal 20 Ayat 2, dikatakan Rino, APKASINDO meminta pemerintah terutama Kemenko Perekonomian sangat selektif terhadap Pemantau Independen yang punya track record yang baik untuk kemajuan sawit Indonesia dan tidak berafiliasi dengan NGO atau pihak asing, bukan perseorangan.
“Jangan nantinya pemantau independent berasal dari yang getol menggugat UU Cipta Kerja, lalu getol menggugat BPDPKS biar bubar, menggugat program biodiesel,mengirim surat ke EUDR agar cutt off diturunkan dari tahun 2020 ke tahun 2000, Apalagi jika pemantau independent tersebut berafiliasi dengan kepentingan asing” tegasnya.
Pasal 22 Ayat 2, APKASINDO menegaskan pendanaan ISPO jangan dibebankan semuanya kepada BPDPKS tetapi juga dibebankan ke anggaran K/L terkait.
Pasal 28 Ayat b, Rino mengusulkan petani sawit baru diwajibkan ISPO setelah 10 tahun semenjak aturan ini diundangkan dan merujuk ke empat Cluster ISPO Relatif Pekebun. Dan juga rancangan aturan ini belum cantumkan insentif bagi petani khususnya harga TBS, ini sangat merangsang petani.
”Usulan kami petani yang bersertifikat ISPO diberikan keistimewaan dengan dinaikkan 4% harga TBS nya diatas harga Penetapan Disbun. Lalu dapat potongan harga pembelian Pupuk Non subsisi milik BUMN, Prioritas mendapatkan Dana KUR. Harapannya petani berlomba-lomba ikut ISPO,” jelas Rino.
Setelah selesai memberikan masukan dan usulan strategis APKASINDO terhadap revisi Perpres ISPO, selanjutnya Rino Afrino menyerahkan rumusan yang sudah dikaji oleh 28 orang Auditor ISPO pengurus APKASINDO yang tersebar di 22 Provinsi, kepada Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan, Moch. Edy Yusuf, dalam forum konsultasi public tersebut.