JAKARTA, Petani sawit merasakan berkah kenaikan harga TBS setelah berdirinya BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) melalui Inpres Nomor 61 Tahun 2015. Kebijakan mandatori biodiesel berdampak terhadap serapan sawit dan harga TBS petani, dan harga TBS penutupan sebelum libur lebaran naik signifikan.
Salah satu tujuan berdirinya BPDPKS adalah melakukan Pungutan Eksport CPO atau Levy dan dana ini akan dimanfaatkan untuk tujuan (1) pengembangan SDM Pekebun, (2) Riset, pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan hilirisasi, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, (4) Peremajaan sawit rakyat (PSR), (5) sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.
“Jangan salah pungutan ekspor ini bukan Pajak atau masuk ke APBN atau APBD. Berbeda dengan bea keluar (BK) peruntukannya pendapatan negara,” ujar Dr (c) Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Ia mengatakan konsep yang ditaja dalam menjaga harga TBS adalah dengan cara meningkatkan penyerapan CPO domestic.
Program pencampuran CPO ke BBM jenis solar sudah dicanangkan sejak 2008 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32/2008, dengan target B10 pada 2015. Dimulai dari B10 lalu dapat meningkat menjadi B20. Selanjutnya, secara resmi pada 23 Desember 2019 Presiden Jokowi me-launching Program Mandatori B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% BBM jenis solar), dan per 1 Januari 2020 efektif berlaku di seluruh SPBU Indonesia.
“Program Mandatori B30 inilah yang menjadi titik nol sejarah mengapa harga TBS Petani sangat terjaga dan Indonesia pun tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengimplementasikan B30,” jelas kandidat Doktor Lingkungan ini.
Menurutnya, implementasi B30 menciptakan double effect yang membuat dunia terpesona. Pertama, serapan domestik meningkat signifikan dan kedua, mengurangi impor solar sebesar bauran tersebut.
Dalam pandangan Gulat, ada lima faktor pendorong harga CPO dunia meskipun saat yang bersamaan ekonomi dunia melemah seiring badai Covid-19. Pertama, tingginya serapan CPO Domestik dengan B30 yang mencapai 7,226 juta ton CPO pada 2020 sehingga mengakibatkan kelangkaan CPO dunia dan berlakulah teori ekonomi.
Kedua, dunia tidak bisa lepas dari ketergantungan CPO Indonesia, meskipun banyak negara sebagai penghasil minyak nabati dari tanaman selain sawit, namun efisiensi ekonomisnya 9,8 kali lebih mahal diibanding sawit (jika ditinjau dari penggunaan lahan), ibaratnya jika goreng pisang dipakai dengan minyak goreng sun flower maka harga goreng pisang bisa mencapai Rp 42.000 jika di rupiahkan.
Ketiga, faktanya tangki penimbunan CPO di negara-negara importir CPO Indonesia hanya terisi 30-60% dari total kapasitas normalnya karena terjadi kelangkaan CPO dunia. Dengan demikian permintaan CPO akan terus melaju.
Keempat, terjadi penurunan aktivitas budidaya tanaman penghasil minyak nabati di Eropa dan negara penghasil minyak nabati lainnya (selain sawit), penurunan ini cenderung diakibatkan dampak pandemic covid-19. Sementara aktivitas agronomi dan agroindustry kelapa sawit sama sekali tidak terganggu (hasil survey APKASINDO di 22 Provinsi, 2020).
Kelima adalah terbongkarnya rahasia negara-negara pengimport CPO Indonesia bahwa tujuan mereka mengimpor CPO bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi (yang selama ini digaungkan seperti itu), tetapi juga untuk kebutuhan biodiesel, bahan bakar lainnya dan resell (menjual kembali).
“Kelima faktor inilah mengapa harga CPO meningkat drastis. Sesungguhnya tanpa kejadian Pandemi Covid-19 pun harga CPO akan semakin naik. Kata kuncinya serapan domestik CPO Indonesia melalui program biodiesel,” pungkasnya.