AKARTA, SAWIT INDONESIA – Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI menyampaikan fakta positif industri sawit kepada delegasi Parlemen Uni Eropa. Itu sebabnya, resolusi Eropa mesti dibatalkan supaya memberikan rasa keadilan kepada rakyat Indonesia.
Ketua BKSAP DPR RI Nurhayati Ali Assegaf menekankan, Indonesia adalah negara yang memiliki komitmen tinggi terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs). Bahkan, menjadi negara terdepan dalam meratifikasi rekomendasi Paris Agreement 21 tentang perubahan iklim.
“Resolusi sawit sebaiknya dibatalkan dengan pertimbangan komitmen Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan.Komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim dan SDGs sangat jelas dan sudah diakui,” tegas Nurhayati bersama sejumlah anggota BKSAP saat menerima delegasi Parlemen Uni Eropa di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/05/2017) seperti dikutip dari situs dpr.go.id.
Sebagai informasi, Parlemen Uni Eropa pada 4 April 2017 menyetujui laporan terkait minyak kelapa sawit dan deforestasi di Indonesia. Resolusi ini meminta penghapusan penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel pada 2020. Resolusi ini menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia menyebabkan deforestasi dan kebakaran hutan.
Erico Sotarduga, anggota BKSAP yang juga membidangi komisi VI menjelaskan bahwa industri kelapa sawit menampung 4 juta tenaga kerja Indonesia secara langsung, yang apabila dihentikan akan membawa multiplier effect terhadap 12 juta rumah tangga.
“Kami harap Uni Eropa berikan rasa keadilan bagi rakyat indonesia. Kepala sawit makin baik ke depannya dan tidak berpengaruh masif terhadap kerusakan alam,” tutupnya.
Hamdani, Anggota Komisi IV DPR RI memeringatkan bahwa Indonesia tidak pernah takut menghadapi resolusi tersebut.
“Kita tidak pernah takut dengan resolusi Uni Eropa. Toh, pangsa pasar utama kelapa sawit Indonesia bukan negara-negara Eropa,” tegas politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini.
Di depan beberapa anggota parlemen Uni Eropa, Hamdani juga menegaskan bahwa deforestasi yang digunakan sebagai dasar asumsi untuk membuat sebuah resolusi sawit itu sangat keliru.
“Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen mengenai Sawit berkelanjutan dan ramah lingkungan sejak 2009 ditambah dengan pembatasan penggunaan lahan gambut pada 2016 lalu,” ucapnya.
Menanggapi hal itu, Delegasi Parlemen Uni Eropa Pedro Silva Pereira mengatakan pihaknya telah melakukan kunjungan ke Provinsi Riau dan mendapatkan informasi terkait hal ini.
Dia berharap parlemen Indonesia & Uni Eropa akan melakukan beberapa pertemuan lagi untuk membahas hal ini. Mengingat, resolusi sawit tentu akan berpengaruh terhadap negosiasi perjanjian perdagangan antara Indonesia – Uni Eropa.
Kami percaya Indonesia dan Uni Eropa akan mendapatkan titik temu yang positif untuk pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak, ” tandasnya. (Qayuum/Virdi)
Sumber foto: istimewa