Kebijakan pemerintah India yang menaikkan harga patokan impor produk hilir sawit, tidak akan berdampak besar kepada perdagangan CPO Indonesia. Untuk itu, kalangan refineri nasional meminta struktur Bea Keluar (BK) CPO tidak direvisi dan berlaku seperti saat ini.
Penerapan BK CPO Indonesia yang sudah berjalan 10 bulan ini ternyata mendapatkan reaksi dari pembeli tradisional seperti India. Hal ini terbukti pertengahan Juli kemarin, pemerintah India resmi menaikkan harga referensi impor produk jadi sawit dengan skema pajak sebesar 7,5% yang disesuaikan kepada harga di pasar global.
J.Joelianto, Direktur PT Sinar Mas Agro and Resources Technology (SMART) Tbk, mengatakan kenaikan pajak impor produk hilir sawit sudah semenjak lama diwacanakan oleh pemerintah India yang baru direalisasikan pada Juli kemarin. Pada dasarnya, perubahan ini sangatlah wajar karena pemerintah India juga didesak untuk terus mendukung industri hilir di dalam negerinya.
“Kebijakan BK CPO ini memang sanga fenomenal membawa dampak yang cukup signifikan terhadap Malaysia. Begitupula dengan India yang selama beberapa tahun terakhir mengimpor mayoritas CPO dibandingkan dengan RBD Olein,” ujar Joelianto kepada SAWIT INDONESIA.
Dalam keterangannya, K.V Thomas, Menteri Pangan, mengakui perubahan skema pajak impor ini ditujukan untuk melindungi refineri domestik dari serbuan produk hilir sawit asal Indonesia yang meningkat signifikan. Setelah pemerintah Indonesia memberlakukan bea keluar CPO yang lebih berpihak kepada produk hilir sawit, melalui tarif ekspor rendah.
Semenjak November 2011 hingga Juni, volume impor produk hilir CPO dari Indonesia mencapai 1,2 juta ton atau naik dua kali lipat daripada periode sama tahun sebelumnya. Kondisi ini jelas mengkhawatirkan produsen minyak makan di India karena akan kesulitan untuk bersaing dengan produk minyak goreng atau RBD olein dari Indonesia, yang mendapatkan insentif dari kebijakan BK CPO.
Selama ini, India mengimpor lebih dari 50% kebutuhan minyak nabatinya yang mencapai 16 juta ton per tahun. Minyak sawit mendominasi impor minyak nabati ini yang dipasok dari Indonesia dan Malaysia, sebagian kecil lain dari suplai minyak kedelai asal Argentina dan Brazil.
Sahat Sinaga,Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), mengatakan pemerintah Indonesia tidak perlu panik dengan kebijakan India tersebut karena belum berpengaruh besar terhadap kinerja ekspor produk hilir sawit. Sekarang ini yang terjadi, kalangan refineri menghadapi dilema apakah mengimpor RBD Olein atau membeli minyak sawit mentah (CPO) Indonesia dengan harga tinggi.
Menurutnya, kalangan eksportir Indonesia tetap lebih senang menjual RBD Olein dan RBD Palm Oil dengan pertimbangan pajak ekspornya lebih rendah. Jika kebijakan India terus berjalan, Sahat mengkhawatirkan akan terjadi gejolak di negara tersebut akibat tingginya harga minyak makan. Sebab, faktor harga akan menjadi pertimbangan utama.
Joelianto menjelaskan selisih harga RBD Olein impor dengan produk olein India sekitar US$ 12-US$ 15 per metrik ton. Dampak dari kebijakan pemerintah India, diperkirakan membuat kenaikan sedikit harga minyak goreng di pasar domestik. Kendati, fluktuasi harga bergantung kepadaharga pasar international. “ Dengan kondisi ini, pemerintah India sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan tersebut karena pertimbangan inflasi dan lainnya,” kata dia.
Solusi
Sahat Sinaga mengatakan kalaupun produk RBD Olein dan RBD Palm Oil kesulitan masuk pasar India, masih ada beberapa alternatif yang dapat dijalankan. Pertama, pemerintah Indonesia segera menyelesaikan Preferential Tarif Agreement (PTA) dengan Pakistan yang pembahasannya tak juga selesai. Padahal, Indonesia berpeluang mengisi kebutuhan CPO di negara tersebut yang mencapai 800 ribu ton.
Kedua, ekspor dapat dialihkan kepada pasar non tradisional antara lain Afrika, Rusia, Timur Tengah, dan Kepulauan Pasifik. Namun, menurut Sahat Sinaga, perdagangan ini perlu didukung fasilitas memadai seperti infrastruktur pelabuhan dan perizinan cepat.
Selain itu, peningkatan konsumsi CPO di dalam negeri merupakan alternatif bagi produk hilir sawit. Tahun ini, GIMNI merevisi konsumsi CPO domestik menjadi 7,5 juta ton dari sebelumnya berjumlah 7 juta ton. Ini berarti terjadi kenaikan konsumsi CPO di dalam negeri sebesar 21% dibandingkan 2011 berjumlah 6,2 juta ton.
Sebagai solusi, Fadhil Hasan selaku Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia meminta pemerintah segera merevisi bea keluar sekarang di mana produk minyak sawit mentah (CPO) terkena tarif tinggi. Jadi, langkah proteksi pemerintah India tersebut merupakan imbas dari kebijakan Indonesia dalam BK CPO. Dia mencemaskan perdagangan Indonesia CPO dan produk turunannya ke India dapat turun drastis pada tahun ini.
Kendati ada tekanan dari India, Joelianto meminta pemerintah tidak merevisi bea keluar CPO yang sekarang berjalan. Pertimbangannya, struktur PE diterapkan saat ini masih relatif bagus maka walaupun pemerintah India menaikkan harga patokan import RBD Olein.
Sahat Sinaga menegaskan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia sebaiknya jangan sampai ditekan oleh pemerintah India. Sebab, kebijakan BK CPO sekarang ini ditujukan memberi nilai tambah kepada industri sawit dalam negeri.
Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, beberapa waktu lalu menuturkan pemerintah berupaya melobi pemerintah India untuk membahas kebijakan tarif impor produk hilir CPO. Mesti diakui, pasar India sangat berperan penting dalam neraca perdagangan Indonesia. (Qayuum Amri)