BOGOR, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi dan pakar hukum menyatakan ada ketidakpastian serta ketidakadilan hukum dalam proses penetapan ganti rugi atas kebakaran hutan dan lahan di areal kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berpedoman pada PMLH No 7 Tahun 2014.
Hal ini diungkapkan dalam diskusi bertema bertema “Eksaminasi proses hukum perkara kebakaran kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan kaidah ilmiah, di Bogor, Selasa (17 Juli 2018). Hadir sebagai pembicara antara lain, pakar hukum keuangan negara Dr Dian Puji Simatupang, pakar kebijakan/hukum kehutanan Dr Sadino, pakar valuasi ekonomi Dr Bahruni Ms dan pakar hukum Hotman Sitorus.
Dr.Dian Puji Simatupang menuturkan berdasarkan pasal 33 UUD 1945 maka pemahaman lingkungan seharusnya tidak dimaknai sebagai dimiliki negara melainkan dikuasai negara. Kalau lingkungan diklaim sebagai milik negara, berarti harus dicatatkan dalam aset negara dan bisa diklaim biayanya.
Jika aturan itu dipaksakanmaka korporasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas sesuai yang bukan miliknya, ketika terjadi suatu bencana.
Dr.Sadino mengingatkan, jika kerusakan lingkungan dianggap sebagai kerugian negara, perlu diatur penetapan kerugian lingkungan hidup sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yakni wajar, memulihkan dan tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat.
“Konsekuensinya, tenaga ahli yang dipercaya untuk menghitung nilai kerugian lingkungan hidup harus berpedoman pada prinsip PNBP dan standar kualifikasi kompetensi keahliannya harus ditetapkan secara terukur untuk menghindari ketidakpastian hukum dan tegaknya keadilan,” kata Sadino.
Secara hirarki hukum, kedudukan materi muatan PMLH No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai dasar hukum dalam penetapan tarif/nilai ganti rugi sebaiknya diatur di dalam Peraturan Pemerintah agar memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat.
Sumber foto: istimewa