Dengan teknologi perbanyakan ini maka yang diperlukan adalah mencari tanaman induk dengan produksi tertinggi dan memiliki karakter unggul tertentu untuk diperbanyak dengan kultur jaringan. Misalnya saja pada sebuah perkebunan sawit dengan produksi rata-rata 30 ton TBS/Ha/Tahun. Bisa saja ditemukan blok tanaman yang memiliki produksi diatas rata-rata, misalnya 40 ton TBS/Ha/Tahun. Untuk mendapatkan bahan tanaman unggul tersebut cukup dilakukan dengan mengkloning tanaman dari blok yang memiliki produksi 40 ton TBS/Ha/Tahun tersebut dengan teknik kultur jaringan. Hampir dapat dipastikan keunggulan indukan akan turun pada klonnya karena kita mengetahui bahwa dengan kultur jaringan akan dihasilkan klon yang identik dengan induknya. Hal tersebut berbeda dengan cara konvensional yang turunannya masih memiliki variasi cukup tinggi dengan induknya.
Oleh sebab itu, dimasa yang akan datang fungsi sumber benih lebih difokuskan pada mengkloning tanaman yang ingin diperbanyak oleh konsumen. Calon penguna benih cukup menunjukan tanaman yang ingin ia tanam dan produsen benih akan melalukan kloning. Jelas cara ini akan mempersingkat proses produksi bahan tanam unggul.
Indikasi Pengunaan Benih Ilegal di Indonesia
Peningkatan luas lahan berdampak langsung terhadap meningkatnya permintaan benih sawit. Meningkatnya permintaan (demand) terhadap benih sawit yang cukup besar tentunya harus diimbangi oleh ketersediaan (supply) benih sawit yang mencukupi. Namun, disisi produksi hanya ada beberapa produsen benih sawit di Indonesia. Bahkan , hingga tahun 2002, sesuai dengan SK Menteri Pertanian RI No. KB. 520/261/kpts/1984 dan No. 155/kpts/KH.050/2/1993 penyediaan benih sawit dalam negri saat itu dicukupi hanya tiga produsen benih yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), PT. Socfindo dan PT. London Sumatera Indonesia Tbk. Kapasitas produksi yang dihasilkan sebesar 50 juta, 25 juta, dan 12 juta dan total benih yang disalurkan pada tahun 2002 sebanyak 28.411.211 butir. Pada tahun 2003 jumlah benih yang disalurkan ketiga produsen benih tersebut mencapai 46.880.601 butir (meningkat 65%).
Sumber: Hendra Halomoan Sipayung, Tony Liwang