JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dana pungutan sawit di bawah pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa sawit dikhawatirkan tidak lagi cukup membiayai program subsidi. Beban dana subsidi makin bertambah apabila biodiesel non subsidi juga menerima perlakuan sama dengan yang subsidi. Faktor lainnya adalah selisih harga solar MOPS dengan harga biodiesel dan pemberian subsidi biosolar kepada PLN.
“BPDP sendiri yang khawatir dana subsidi biodiesel tidak lagi mencukupi. Bukan dari kami (Aprobi). Kami hanya dimintakan usulan terkait mengatasi masalah ini,” jelas Togar Sitanggang, Sekjen Aprobi, dalam bincang santai bersama media pada Sabtu (18/6), di Jakarta.
Master Parulian Tumanggor, Ketua Umum Aprobi mengatakan kekhawatiran subsidi kurang dipicu kian melebarnya selisih antara harga MOPS solar dan harga biodiesel.
Membengkaknya dana subsidi karena BPDP juga menanggung subsidi untuk pembangkit listrik PLN. Sebelumnya, dana pungutan ditujukan kepada biodiesel bersubsidi di sektor transportasi.
“Apalagi ada wacana supaya biodiesel non subsidi menerima subsidi pula. Dikhawatirkan dana yang terkumpul sekarang tidak bisa menutupi program biodiesel,” jelas Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Aprobi.
Dari data yang dihimpun bahwa subsidi biodiesel sebesar Rp 2,05 triliun dalam rentang waktu kurang dari satu semester tahun ini. Belum lagi pengeluaran untuk tagihan yang masuk sebesar Rp 3,72 triliun. Total dana yang akan keluar bisa Rp 5,77 triliun.Sedangkan, target penyaluran subsidi biodiesel tahun ini sekitar Rp 11 triliun.
MP Tumanggor menyebutkan Pemerintah telah membentuk tim khusus untuk membahas skenario subsidi biodiesel ini, yang didalamnya terdapat Aprobi. dalam rapat tim khusus tadi muncul beberapa skenario untuk mengatasi masalah subsidi. Pertama, kewajiban pencampuran biodiesel 20% (B20) dikurangi menjadi biodiesel 15% (B15).
Usulan berikutnya, dana pungutan sawit akan dinaikkan baik produk hulu dan hilir. Apabila dana pungutan naik, menurut Tumanggor, dampak lanjutannya bisa saja mematikan industri hilir atau merugikan para petani.
Adapula usulan mengenai revisi Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel sebagaimana diatur Peraturan Menteri ESDM Nomor 29/2015 mengenai Penyediaan dan Pemanfaatan BBN Jenis Biodiesel oleh BPDP Kelapa Sawit. Dalam aturan yang direvisi ini juga dimasukkan ketentuan mengenai pemangkasan ongkos produksi biodiesel di tingkatan produsen.
MP Tumanggor kurang sependapat dengan rencana pengurangan ongkos produksi dan marjin. Pasalnya, aturan ini bisa mematikan produsen biodiesel skala kecil dan merugikan investasi baru biodiesel.
Kalangan asosiasi meminta pemerintah tidak lepas tangan dengan persoalan kekurangan dana subsidi. Menurut Paulus, instrumen subsidi biodiesel dapat dimasukkan ke dalam subsidi solar sebesar Rp 500 per liter. Sebab, masalah biodiesel ini bukan semata-mata tanggung jawab pelaku usaha namun pemerintah punya andil di dalamnya. (Qayuum)