Setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/2015, ada usulan membuat peraturan peralihan. Tujuannya memberikan kesempatanbagi perkebunan yang menunggu proses terbitnya Hak Guna Usaha(HGU).
Industri sawit yang menempati posisi strategis dalam perekonomian kerapkali berhadapan dengan ketidakpastian regulasi.Salah satunya adalahputusan MK Nomor 138/2015yang sangat krusial bagi pelaku usaha sawit.Sebagaimana diungkapkan Prof. Bungaran Saragih, Dewan Pembina Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) di Jakarta, pada awal September 2018.
Bungaran Saragih mengatakan industri sawit tidak lepas dari sistem hukum yang terdiri dari substansi hukum atau pengaturan hukum. Pada sektor perkebunan sawit di Indonesia, pengaturan hukum telah dituangkan dalam UU no 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Namun baru satu tahun beleidditerbitkan muncul Judicial Review (JR)ke Mahkamah Konstitusi.
Dari 11 pasaldalam UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan yang diajukan judicial review. Terbit keputusanMKNomor 138/2015 yang mengabulkan 6 pasal secara bersyarat (pasal 27 ayat 3, pasal 29, pasal 30 ayat 1, pasal 42, pasal 55, dan pasal 107) dan terdapat 5 pasal yang tidak dikabulkan. Apabila diinvestarisir dari 6 pasal yang dikabulkan MK,terdapat dua pasalkrusial yaitu pasal 42 dan pasal 55 dalam pengembangan sawit berkelanjutan.
Bahrul Ilmi Yakub, Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Sertifikasi PERADI menjelaskan MK menguji 11 pasal yang tertuang pada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Kemudian, MK membuat keputusan dua versi yaitu menolak 5 pasal dan mengabulkan 6 pasal.
Pada 6 pasal yang dikabulkan terdapat 2 pasal krusial, salah satunya pasal 42 UU No 39 Tahun 2014, Bahrul menguraikan MK menerima permohonan pemohon uji materi pasal 42 sepanjang prase hak atas tanah atau tidak dimaknai hak atas tanah dan izin perkebunan. Pasal 42 berbunyi kegiatan budidaya perkebunan dan atau pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pasal 41 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan atau izin usaha perkebunan.
“Interpretasipasal tersebut, dulu perkebunan mendapatkan izin lokasi dan memperoleh IUP walaupun hak atas tanah belum ada (in process). Namun, MK tidak diperbolehkan yakni harus disatukan. Untuk itu, MK menghilangkan kata atau, sehingga pasal itu harus dibaca tanpa kata atau,” ujar Bahrul.
Putusan MK sebenarnya tidak menggeser hak atas tanah perkebunan namun melalui proses untuk izin dan berusaha. Jika perusahaan sudah memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), maka HGU tetap berlaku. Namun, jika sedang mengurus perusahaan baru atau mau invest maka harus memiliki keduanya yaitu HGU dan Izin Usaha Perkebunan.Jadi keputusan MK tidak mengubah status tanah tapi memang keputusan ini berimplikasi terhadap beberapa hal di antaranya investor baru maka izin harus lengkap.
Selanjutnya, Bahrul mengatakan esensi dari pasal 42 harus dibaca dari pasal 41. Pasal 41 mengatur jenis usaha perkebunan terdiri dari atas budidaya tanaman perkebunan, usaha pengolahan hasil perkebunan, dan usaha jasa perkebunan.
Kendati, MK sudah memutuskan pasal 42 UU no 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan pada JR. Namun, Bahrul memiliki pandangan lain, pada poin ini ada isu krusial dari praktisi perkebunan dan industri perkebunan kenapa, karena di pasal 41, usaha perkebunan sawit ada beberapa jenis ada usaha perkebunan budidaya tanaman, ada usaha pengolahan hasil perkebunan, ada usaha jasa perkebunan.
“Dengan keputusan ini, MK keliru tidak melihat secara komprehensif karena jasa di perkebunan ada banyak di antaranya jasa angkutan hasil perkebunan, masa harus memiliki HGU. Jika budidaya perkebunan memang memerlukan lahan, tapi pengolahan hasil perkebunan (PKS) apakah perlu HGU, belum tentu,” jelasnya.
Dampak putusan sudah terjadidi Kalimantan Tengah yang menjadi sentra ketiga kelapa sawit yang berkembang sejak tahun 2000 dengan 4 juta ha.Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah Rawing Rambang menjelaskan dari 1,5 juta hektare lahan sawit, 183 unit usaha yang telah operasional itu, 120 unit usaha seluas 1,2 juta ha lebih telah memiliki IUP dan HGU. Sementara 63 unit seluas 705 ribu ha belum memiliki IUP dan HGU.
Dijelaskan Rawing banyak kebun masyarakat dianggap ilegal seluas 1,345 juta hektare dan kebun-kebun tersebut berdasarkan Permentan No.357/2002 yang menjelaskan boleh beroperasi setelah mendapat SPUP (izin prinsip). Sedangkan sudah dibangun sejak 1992.