Simulasi dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti tersebut, tahun 1978 dimulai lah PIR pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang terkenal dengan proyek Nucleus estate and small holders (NES), mulai dari NES I samapai NES VII. Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negri (APBN) yakni PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun 1980. Melalui pola PIR tersebut, berkembang sekitar 231.535 ha pekebuna kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha) dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat ikut dalam agribisnis minyak sawit nasional, dimana sebelum tahun 1980 pelaku agribisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan swasta (Badrun, 2010; Sipayung, 2012).
Pengalaman kebarhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi. Sejak tahun 1986 pemerintah mengkombinasikan pola PIR dengan progran transmigrasi (PIR-Trans). Pada pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani tranmigrasi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini dilakukan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuhkembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar di mana 70 % kebun plasma dan 30% kebun inti.
Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak tahun 1996, PIR lokal dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada disekitar perkebunan kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada.
Sumber: PASPI