Bagian VII
Hilirisasi minyak sawit dengan tiga jalur tersebut perlu didukung dengan kebijakan industrialisasi, yakni kombinasi kebijakan promosi ekspor (EO) dan kebijakan subsitusi impor (S1). Dari segi kebijakan EO, hilirisasi minyak sawit dilakukan secara bertahap yakni fase pertama (EO1) dan dilanjutkan dengan fase lanjutan (EO2). Hilirisasi fase EO1 diharapkan dapat merubah ekspor produk minyak sawit mentah menjdai produk hilir setengah jadi seperti RBD olein, RBD stearin, PFAD, fatty acid, fatty alcohol, glycerol dan lain-lain. Sedangkan hilirisasi fase EO2 diharapkan produk yang diekspor adalah produk jadi seperti oleofood kemasan (minyak goerng, margarin), oleokimia jadi (seperti sabun, detergen, shampo dan lainnya) dan biofuel (biodiesel, biogas, bioethanol dan lainnya).
Kebijakan promosi ekspor melalui hilirisasi minyak sawit juga dilaksanakan pararel dengan kebijakan susbitusi impor yang dapat dikelompokan atas dua fase yakni fase pertama (SI1) yakni menghasilkan produk antara yang selama ini masih diimpor indonesia. Sedangkan fase kedua (SI2) adalah menghasilkan produk jadi untuk mengantikan produk yang diimpor selama ini. Termasuk dalam fase subsitusi impor kedua ini adalah pengantian solar dengan biodiesel (mandatory biodiesel), pengantian petropelumas dengan biopelumas, pengantian petroplastik menjadi bioplastik dan lainnya.
Dengan demikian perpaduan antara kebijakan EO dan SI hilirisasi minyak sawit yang sedang berlangsung sesungguhnya memerlukan 4 kombinasi kebijakan hilirisasi yakni EO1SI1 (hilirisasi untuk mengespor produk antara sekaligus mensubtitusi produk antara yang masih impor), EO1SI2 (Hilirisasi untuk mengeskpor produk antara dan mensubsitusi produk jadi yang diimpor) dan EO2SI1 (hilirisasi untuk mengespor produk jadi dan mensubsitusi produk antara yang di iimpor), EO2SI2 (hilirisasi untuk mengespor produk akhir dan mensubsitusi produk jadi yang diimpor).
Sumber : GAPKI