JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta mengkajiulang Domestic Market Obligation (DMO) sawit yang masih berlaku sekarang ini. Pasalnya, kebijakan ini tidak efektif mendorong peningkatan ekspor dan menekan harga sawit di dalam negeri termasuk TBS petani.
Rossanto Dwi Handoyo, Ph.d, Ekonom Universitas Airlangga, mengatakan kebijakan DMO sawit memberikan sejumlah dampak kepada pelaku industri dan petani. Pertama, adanya kelebihan pasokan CPO yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak mungkin bisa diserap di pasar domestik.
Faktor kedua, adanya ketidaksepakatan penetapan harga TBS sawit antara petani dan pabrik-pabrik sawit. Ketiga, petani dirugikan akibat adanya penurunan harga TBS secara sepihak yang menyebabkan kerugian petani diperkirakan Rp14 triliun.
Di pasar ekspor, negara produsen sawit seperti Malaysia mendapatkan windfall profit dari DMO sawit Indonesia.”Akibat aturan ekspor, permintaan CPO beralih ke negara kompetitor. Kompetitor Indonesia dalam pasar CPO dunia adalah Malaysia, yang menduduki posisi pengekspor CPO terbesar kedua dunia dengan kontribusi ±26% dari nilai ekspor CPO dunia pada tahun 2020,” ujar Rossanto.
Ia mengusulkan supaya kebijakan DMO sawit dapat dievaluasi lagi sesuai regulasi berlaku. Merujuk kepada Pasal 5 Permendag No. 22 Tahun 2022 bahwa kebijakan ekspor CPO dapat dievaluasi secara periodik atau sewaktu-waktu diperlukan. Apalagi, kebijakan ekspor sawit seperti DMO ini tidak lagi efektif dalam mendorong peningkatan ekspor CPO dan harga TBS sawit.
Rossanto meminta pemerintah perlu mewujudkan penyusunan platform Neraca Komoditas (NK). Pasalnya, mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi produk komoditas unggulan seperti batubara dan Crude Palm Oil (CPO).
NK bisa menjadi acuan data dan informasi yang mampu menjabarkan tentang situasi konsumsi dan produksi suatu komoditas berskala nasional seperti CPO dan batubara sekaligus sebagai data dan informasi proyeksi pengembangan industri nasional.
Menurut Rossanto, melalui NK tersebut nantinya dengan mudah diketahui seberapa besar kebutuhan CPO dalam negeri untuk minyak goreng hingga target ekspor sehingga berbagai regulasi pro dan kontra seperti DMO dan DPO bisa dihindari.
“Kebijakan sebagai upaya transparansi ini bermanfaat karena memberikan kepastian waktu bagi waktu bagi eksportir sawit, mendorong penyederhanaan tata niaga kelapa sawit di Indonesia yang kini masih terkesan tumpang tindih,” kata Rossanto.
Menurut Rossanto, penyusunan NK perlu dikebut mengingat perekonomian Indonesia masih menghadapi dampak tekanan ekonomi global tahun depan 2023.
Pada 2023, ekonomi domestik dihadapkan dengan sejumlah ketidakpastian seperti potensi resesi dunia setelah tingginya inflasi dan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara maju.