Tuduhan sejumlah LSM bahwa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) akan dihapuskan tidaklah benar. Yang akan dilakukan, pemerintah ingin menyederhanakan proses perizinan keduanya supaya tidak berbelit-belit.
Pada November 2019, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil mengeluarkan gagasan untuk penyederhanaan proses perizinan AMDAL dan IMB, ketimbang menghapuskan perizinan tersebut.
“Proses ini baru dibicarakan, kami akan konsultasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” jelas Sofyan Djalil.
Pernyataan ini dikeluarkan Sofyan untuk menanggapi usulannya pada November 2019. Kala itu, ia mengusulkan proses pemangkasan perizinan seperti AMDAL apabila daerah sudah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah rencana terperinci mengenai tata ruang di sebuah wilayah kabupaten/kota. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Pasal 59 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Aturan ini menyebutkan bahwa setiap rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota harus menetapkan bagian dari wilayah kabupaten/kota yang perlu disusun rencana detail tata ruangnya.
“Kami punya komitmen bagaimana tata ruang lebih tertib, lebih efektif, tanpa hambatan birokrasi,” ujar Sofyan.
Usulan Sofyan ini mendapatkan reaksi keras dari LSM. Arip Yogiawan, Ketua Bidang Kampanye Strategis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, mengatakan encana penghapusan tersebut tentu akan berdampak kepada lingkungan. Karena selama ini, Amdal berguna sebagai dokumen kajian akan dampak penting dari adanya sebuah kegiatan atau usaha yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Amdal berperan penting agar langkah pembangunan tersebut lebih hati-hati. Di sini partisipasi masyarakat pun sangat diperlukan.
“Jika Amdal dan IMB dihapuskan, maka kerusakan, pencemaran dan konflik dipastikan akan segera terjadi dan meluas, karena tidak ada pencegahan dan terjadi pengabaian asas kehati-hatian dalam perencanaan pembangunan,” kata Arip
Pandangan berbeda datang dari kalangan akademisi. Dr. Rio Christiawan, Pengamat Hukum Lingkungan, menyebutkan penyederhanaan AMDAL merupakan langkah maju karena AMDAL ini salah satu perizinan yang tidak dapat diurus dengan OSS. Yang terjadi, selama ini mengurus AMDAL dilakukan lintas kementerian dan memakan waktu cukup panjang antara 6 bulan sampai dengan 1 tahun.
Dikatakan Rio, persoalannya AMDAL ini merupakan syarat bagi pengurusan perizinan lanjutan lainnya misalkan tanpa amdal tidak dapat mengurus Izin Usaha Perkebunan (IUP). Dengan penyederhanaan AMDAL akan mempercepat operasional kebun kelapa sawit khususnya dalam memulai kegiatan usaha dan memperoleh cash flow (karena selama ini perizinan yang terlama untuk diurus adalah AMDAL dan izin ini merupakan prasyarat pengurusan IUP).
Di sisi lainnya perlu diperhatikan esensi dari pemangkasan tersebut, sehingga nantinya tetap ada kajian lingkungan yang komperhensif tetapi tidak memakan waktu yang lama. Jika kajian aspek lingkungan terabaikan maka justru akan menguatkan klaim tuduhan deforestasi yang disebabkan oleh operasional perkebunan kelapa sawit.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 99)