Pengendalian gulma merupakan manajemen penting untuk mengatasi organisme pengganggu tanaman (OPT) di perkebunan sawit. Herbisida berbahan akifpara kuat diklorida telah lama digunakan kalangan pekebun. Banyak nilai tambah aplikasi herbisida parakuat terhadap sektor pertanian dan perkebunan.
Potensi terjadinya residu senyawa parakuat dan kontaminasi hewan dan organisme tanah serta perairan sangat mungkin terjadi. Namun demikian, dengan memerhatikan sifat dan tingkah laku dari senyawa parakuat diklorida menunjukkan aplikasi tergolong aman. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Kementerian Pertanian RI pada 2018 menganalisis residu parakuat pada tanah di 6 provinsi antara lain Riau, Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Selatan hasilnya menunjukkan bahwa residu yang terdeteksi semuanya di bawah ambang batas aman sesuaia turan Lembaga resmi.
Informasi tersebut diungkapkan Asep Nugraha Ardiwinata, Peneliti Madya Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Kementerian Pertanian RI dalam Buku Profil Keamanan Dan Penggunaan Herbisida Parakuat Diklorida yang diterbitkan IPB Press, Juni 2020. Buku ini setebal 212 halaman ini berisi 14 bab yang membahas herbisida parakuat diklorid dari berbagai tinjauan. Adalah 10 penulis yang menyusun buku ini dengan latar belakang beragam seperti akademisi, pemerintah, dan peneliti.
Dadang, KetuaPengurus Pusat Perhimpunan Entomologi Indonesia, menjelaskan salah satu OPT yang perlu dikendalikan di lapangan adalah gulma. Gulma merupakan tumbuhan yang tidak diinginkan tumbuh di suatu lahan dan menyebabkan kerugian karena terjadi persaingan penggunaan tanah, air, unsur hara, dan ruang sehingga mengganggu kehidupan manusia. Selain itu, beberapa jenis gulma menghasilkan senyawa alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman budidaya bahkan dapat mematikannya. Kerugian lain adalah gulma memiliki kemampuan lebih tinggi dalam penyerapan unsur hara dari pada tanaman budidaya. Apa lagi gulma mempunyai kemampuan adaptasi lebih tingggi sehingga tumbuh dan berkembang lebih cepat dari pada tanaman budidaya.
Berpijak dari persoalan tersebut, pengendalian gulma perludi lakukan baik melalui kimiawi dan non kimia. Cara pengendalian gulma kimiawi lebih banyak banyak menggunakan herbisida salah satunya berbahan aktif parakuat diklorida– lebih dikenal sebagai parakuat.
Herbisida ini banyak digunakan utamanya untuk pertanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan kakao, namun juga digunakan untuk mengendalikan gulma pada pertanaman pangan dan juga hortikultura.
Dalam Bab I, Denny Kurniadie dkk membagi cara kerja herbisida menjadi dua tipe: herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak membunuh bagian gulma yang mengalami kontak langsung. Tipe ini memiliki kelebihan dalam pengendalian gulma karen lebih cepat. Tetapi tidak efektif untuk mengendalikan gulma tahunan lantaran tidak mampu mencapai bagian tanaman tanaman di dalam tanam seperti rhizoma, akar, dan umbi gulma. Jenis herbisida kontak antara lain parakuat, bromoksinil, dan bentazon.
Sementara itu, herbisida sistemik dapat mengendalikan gulma dengan cara masuk proses metabolisme setelah terserap gulma dan sangat efektif mengendalikan gulma tahunan karena herbisida diserap oleh gulma dan dapat mengganggu metabolisme gulma hingga kejaringan di bawah permukaan tanah. Salah satu contoh herbisida sistemik adalah glifosat, metal metsulfuron.
Selanjutnya, herbisida juga dapat dibagi berdasarkan selektivitas, waktu aplikasi, dan mode of action. Dengan begitu masyarakat memiliki keleluasaan untuk memilih herbisida yang akan digunakan sesuai dengan tanaman, tujuan penggunaan, target gulma, kondisi iklim, dan sebagainya.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 107)