BOGOR, SAWIT INDONESIA – Penggunaan tanaman berbasis bioteknologi akan membantu peningkatan produktivitas pertanian termasuk kesejahteraan petani. Hal ini terungkap dalam laporan Status Global Komersialisasi Tanaman RG/Biotek: 2017” dari ISAAA dan studi pelengkap tentang “Tanaman Rekayasa Genetika (RG): Dampak Sosial-Ekonomi dan Lingkungan Global pada 1996-2016” dari PG Economics .
Studi ini membahas terus meluasnya adopsi global tanaman bioteknologi, dampak sosial-ekonomi, dan lingkungan signifikan yang dirasakan oleh petani dan masyarakat di seluruh dunia.
“Tanaman biotek menawarkan manfaat besar bagi lingkungan, kesehatan manusia dan hewan, dan kontribusi untuk perbaikan kondisi sosial ekonomi petani dan masyarakat,” ujar Ketua Dewan Direksi ISAAA, Paul S. Teng.
Berdasarkan Laporan ISAAA, area global tanaman biotek naik pada 2017 sebesar 3% atau setara dengan 4,7 juta hektar. Peningkatkan ini ditopang profitabilitas lebih besar berasal dari harga komoditas lebih tinggi, peningkatan permintaan pasar baik domestik dan internasional, dan keberadaan teknologi benih yang tersedia.
Sementara itu di Indonesia, pemakaian tanaman biotek segera diaplikasikan. Prof. Dr. Bambang Purwantara, direktur IndoBIC, menuturkan Indonesia tidak lama lagi menerapkan budidaya tanaman biotek, setelah sejumlah kelengkapan regulasinya disetujui dan diundangkan.
“Petani harus diberi pilihan benih yang menguntungkan bagi usaha tani mereka. Salah satunya penyediaan benih tanaman biotek,”jelasnya dalam Seminar bertema Status Global Komersialisasi Tanaman Biotek 2017 di IPB International Convention Center Bogor, Senin (20 Agustus 2018).
Menurut Bambang,Indonesia jangan sampai terkuras devisanya untuk membeli produk pangan biotek dan menguntungkan petani di luar negeri. “Petani Indonesia harus diberi kesempatan sama untuk meningkatkan produksi dan memperoleh keuntungan yang tinggi”,tegas Bambang.
Prof. Dr. Parulian Hutagaol dari IPB mengungkapkan apabila tidak ada dukungan teknologi pertanian yang lebih maju, Indonesia perlu tambahan lahan sawah seluas 1,5 juta hektare untuk memenuhi kebutuhan beras nasional tanpa impor.
Indonesia, kata Parulian Hutagaol, punya potensi besar dalam bidang bioteknologi. Potensi ini perlu dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai masalah sosial ekonomi nasional, termasuk masalah penyediaan pangan murah karena populasi Indonesia terus bertumbuh pesat. “Hingga saat ini belum pernah ada laporan mengenai terjadinya dampak lingkungan yang cukup serius,”jelasnya