JAKARTA – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak usulan pemerintah yang meminta asosiasi sebagai koordinator Operasi Pasar (OP) minyak goreng. Pasalnya, operasi pasar di bawah kendali GIMNI berpotensi kartel serta melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Kami (GIMNI) tidak ingin menerima lagi tuduhan kartel seperti terjadi pada 2008 silam. Ketika itu, perusahaan minyak goreng yang menjadi anggota kami dituding kartel harga,” kata Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, di Jakarta, Selasa (7/6).
Sahat Sinaga menceritakan asosiasi mendapatkan panggilan rapat dari Kementerian Perdagangan sebelum bulan Ramadhan. Dalam rapat tersebut muncul himbauan dari Kementerian Perdagangan supaya harga minyak goreng tidak menembus angka Rp 11.000 per liter. Arahan lainnya adalah GIMNI diminta menjadi pelaksana operasi pasar minyak goreng di beberapa daerah.
Usulan pengaturan harga dan intervensi pasar ini, kata Sahat Sinaga, yang membuat anggotanya keberatan. Pasalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berpotensi mengarahkan tuduhan kartel apabila permintaan tersebut direalisasikan.
“Dalam rapat kami katakan takut melanggar uu antimonopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat,” tegas Sahat.
Sebagai solusinya, asosiasi mengusulkan supaya pemerintah daerah atau lembaga pemerintah mengajak produsen minyak goreng supaya menggelar operasi pasar bersama. Dengan begitu, kata Sahat, kegiatan ini bisa dimasukkan dalam kategori Corporate Social Responsability (CSR). Operasi pasar bisa dijalankan di daerah di mana terdapat pabrik minyak goreng yang menjadi anggota GIMNI.Anggota GIMNI berjumlah 30 perusahaan produk turunan minyak sawit yang tersebar di Indonesia. Total kapasitas terpasang mencapai 34,8 juta ton.
“Operasi pasar akan dijalankan anggota kami apabila sudah ada permintaan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat,” jelasnya.
Sejumlah anggota GIMNI seperti Asian agri, Wilmar, Permata Hijau, Musim Mas dan anggota lainnya siap menjalankan operasi pasar di beberapa kota. Lokasi operasi pasar antara lain Medan, Mandailing natal, Riau,Palembang, Jakarta, Bandung, Banten dan Makasar
Saat ini, harga minyak goreng non kemasan di tingkat pabrik sudah turun dari Rp 10.300 per kilogram pada pertengahan Mei menjadi Rp 10.100 per liter pada akhir Mei. Sahat menjelaskan harga minyak goreng curah dari tingkat pabrik akan naik biayanya setelah sampai di tangan agen distributor dan pedagang ritel. Dari pabrik ke pedagang selisih harganya Rp 762 per kilogram. Lalu dari agen ke pedagang ada biaya tambahan untuk kemasan sekitar Rp 1.142 per kilogram.
“Melihat selisih harga dari pabrik sampai kepada pedagang, maka harga minyak goreng di pasar pada Juni ini paling reasonable sekitar Rp 11.954 per kilogram atau setara Rp 10.500 per liter. Tetapi, kami tidak bisa mengontrol pedagang kalau harga naik,” jelas Sahat.
“Sekarang, harga minyak goreng di atas 12 ribu rupiah per kilogram itu pedagang ambil margin kebesaran,” jelas Sahat.
Sahat meminta semua pihak baik dari kalangan pemerintah tidak menuding produsen minyak goreng ambil untung besar di bulan Ramadhan. Pasalnya, harga minyak goreng mencerminkan kondisi harga minyak sawit – bahan baku minyak goreng – di pasar global. Selain itu, kalangan produsen tidak bisa mengendalikan harga jual minyak goreng dari pedagang di pasar ritel kepada konsumen. (Qayuum)