Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO berpendapat bahwa kompleksnya mata rantai (value change) industri gas di Indonesia, menjadi salah satu faktor tingginya harga gas.
Ananda Idris, Ketua Komite Migas Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengungkapkan, mata rantai industri gas di Indonesia sangat kompleks, dari level hulu hulu (upstream) hingga hilir (downstream) saling berkaitan satu sama lain. “Ini berbeda jika dibandingkan mata rantai sumber energi lain seperti minyak bumi atau geothermal,” ungkap dia di Jakarta.
Menurut dia, gas itu harus dicari di tempat atau lokasi dimana sumber gas itu berada. Pada tingkat hulu berada di laut dalam atau daerah perbatasan yang jauh lokasinya. Kemudian di level midstream (industri tengah) bukan hal yang mudah dalam mengelola industri gas.
“Apakah gas disalurkan melalui pipa atau gas alam terkompresi (compressed natural gas/CNG) untuk diangkut ke kapal. Stelah itu barulah gas disalurkan ke hilir atau indstri pengguna,” jelas dia.
Menurut dia, mata rantai gas sangat kompleks. “Makanya dikatakan harga gas mahal dan jika diturunkan siapa yang harus berkorban. Sektor hulunya, tengah atau hilirnya, bahkan konsumennya. Nah itu suatu pandangan yang perlu dikaji oleh pemerimtah,” terang Ananda.
Dia mengungkapkan, dalam kegiatan eksplorasi gas di sektor perusahaan membutuhkan biaya yang sangat besar. “Jadi perusahaan mengambil resiko dengan mnegeluarkan banyak uang untuk mencari gas di dalam tanah dan itu pun belum tentu dapat,” ungkap dia.
Apa bila, satu perusahaan tidak mendapatkan gas berdasarkan kontrak yang telah ditandatangani dengan pemerintah indonesia itu menjadi risiko perusahaan. “Ada perusahaan Norwegia mengebor di Selat Makasar namun tidak mempeoleh gas. Padahal perusahaan itu sudah mengeluarkan uang banyak,” tandasnya.
Sedangkan, jika gas ditemukan sumber lokasinya, prosesnya pun masih panjang. Dia menuturkan, gas harus dikeluarkan dari perut bumi. Selanjutnya dibersihkan terlebih dahulu sebelum disalurkan melalui pipa.“Gas dibersihkan dari zat-zat yang bisa merusak pipa. Itu ada pengolahannya baru kemudian masuk pipa, masuk kapal dan setalah itu disalurkan ke industri,” jelas dia.
Dia meminta salah satu komponen mata rantai itu tidak dirugikan apabila harga gas dipatok US$ 6 per MMBTU. “Dibutuhkan satu instansi atau satu orang yang dapat mengelola mata rantai dengan baik supaya tidak ada yang dirugikan jika ingin menurunkan harga gas,” kata Ananda.
Terpenting penurunan harga gas membuat efek ganda, lanjutnya bisa menjamin pendapatan negara dan industri hulu tidak terbengkalai. “Salah satu contoh Blok Marsela pasokan gasnya besar, namun di hilirnya tidak mengetahui gasnya mau dikirim kemana. Sehingga mata rantai itu tidak ada dan hingga kini belum jelas penyelesaian masalahnya,” ungkap Ananda.
Untuk itu, katanya dalam peengelolaan gas hingga sampai ke pihak industri itu membutuhkan suatu manajemen yang baik dari mata rantai dari hulu sampai hilir. “Konsolidasi pada level hulu, tengah dan hilirmenjadi penting,” jelas Ananda.