Perjuangan keras mesti dihadapi Suyatno begitu tiba di kawasan transmigrasi pada 1991. Rumah yang ditempatinya berukuran 6×6 meter. Kendala utama, cuaca yang panas di Sungai Lilin menyulitkan dirinya untuk bekerja karena belum terbiasa. Jika panas sudah menyengat biasaya dia dan keluarga bersembunyi di bawah kolong tempat tidur.
Suyatno resmi menjadi petani plasma PT Hindoli mulai 1998. Sebelumnya, dia hanya berstatus calon petani plasma. Di PT Hindoli, pria asli Salatiga ini diberikan satu kavling.
Dengan penghasilan sekarang ini yang mencapai Rp 4 juta per bulan, Suyatno merasa bersyukur karena kehidupan keluarganya sudah lebih baik. Ketika masih di Salatiga, dia berprofesi sebagai petani. Namun, pekerjaannya juga tidak menentu. Seringkali dirinya mesti merantau ke kota lain untuk menambah penghasilan.
“Saya tidak pernah bermimpi kalau bisa buat rumah, beli mobil dan menyekolahkan anak. Ternyata dengan menjadi petani plasma, semua itu dapat tercapai,” ungkap Suyatno.
Anak pertama Suyatno sudah lulus kuliah Teknik Informatika di Universitas Dian Nuswantoro. Sementara anak yang kedua masih sekolah menengah pertama. Tak hanya berkebun sawit, Suyatno juga kreatif mengembangkan usaha lain seperti warung sembako. Dengan menjadi plasma, dia mengakui dapat berkembang dengan baik untuk memenuhi kebutuhan hidup. (Qayuum)