22 tahun yang lalu, Suyar bersama keluarga pindah dari Wonosobo ke Sungai Lilin, Sumatera Selatan. Kala itu, dia tertarik mengikuti program transmigrasi yang sedang digalakkan pemerintah. Tujuan Suyar ikut transmigrasi demi merubah nasib.
Tiba di Sungai Lilin, Suyar mulai mencoba bercocok tanam palawija. Tetapi, hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Lantaran, palawija yang ditanam terserang hama. Dalam ingatan Suyar, hidup yang dialaminya bersama keluarga sangatlah susah kala itu karena hasil palawija tidak cukup untuk makan sehari-hari. “Istilahnya untuk makan besok, mesti dicari hari sebelumnya,” kata Suyar.
Memasuki tahun 1991, Suyar mencoba tanam sawit. Padahal dia kurang tahu apa itu tanaman sawit. Pengetahuan mengenai sawit mulai diperolehnya dari dinas penyuluhan daerah yang datang ke desa. “Selain itu, saya juga ikut warga lain yang beramai-ramai tanam sawit. Awalnya sih ikut-ikutan juga. Tetapi modal utama ya keberanian juga,” kenang Suyar.
Informasi budidaya kelapa sawit semakin bertambah setelah dirinya sempat bekerja sebagai mandor di PT Hindoli. Sambil bekerja, dia menyisihkan penghasilannya sedikit demi sedikit untuk dijadikan modal berkebun sawit. Akhirnya, dia pun mendaftarkan diri sebagai petani plasma Hindoli. Pertama kali, dia mendapatkan satu kavling lahan yang seluas dua hektare. Sebagai petani plasma, dirinya sempat mendapatkan pinjaman sebanyak Rp 11 juta dari PT Hindoli. Setelah empat tahun, utang ini dapat dilunasi.
Nasib bapak dua anak ini berubah memasuki tahun 1997. Hasil panen dari kebun sawitnya mulai menunjukkan hasil. Dari sini, dia mulai membangun rumah yang layak dijadikan tempat tinggal. Penghasilannya waktu itu sebesar Rp 80 ribu per bulan. Duit sebesar ini dipakai menghidupi istri dan anaknya.
Kehidupan Suyar kian bertambah baik seiring dengan naiknya harga TBS di daerah Sungai Lilin. Saat ini, penghasilan dari satu kavling dapat mencapai Rp 6 juta. Bahkan, penghasilannya pernah Rp 10 juta per kavling per bulan. “Tingginya harga TBS terjadi sekitar tahun 2008,” ungkap Suyar.
Dengan penghasilan tinggi ini tidak lantas membuat Suyar lupa diri. Untuk menambah penghasilan sehari-hari, dia membangun usaha toko kelontong di samping rumahnya dan satu toko di Pasar Sungai Lilin. Dirinya merasa bersyukur dengan perbaikan nasibnya sekarang ini. Apalagi, anaknya sudah ada yang kuliah di Yogyakarta.
Suyar mengibaratkan dirinya termasuk petani yang lulus ujian. Sebab, teman-temannya ada yang tidak mampu bertahan kemudian menjual lahannya kepada orang lain. (Qayuum)