MAMUJU, SAWIT INDONESIA – Petani sawit se-Sulawesi Barat berkumpul di Mamuju mengikuti workshop ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) yang membahas perkembangan ISPO di perkebunan sawit khususnya petani. Begitupula dibahas kesiapan petani untuk menghadapi mandatori ISPO dalam waktu dua tahun mendatang.
Acara Workshop yang dilaksanakan oleh DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Bersama DPW APKASINDO Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari petani sawit dari DPD APKASINDO Kabupaten se Sulbar, perwakilan dari GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Sulbar, perwakilan koperasi bermitra plasma, Dinas Perkebunan Provinsi Sulbar, Perwakilan Korem 142/Taroada, Polda Sulbar, Perwakilan Kejati Sulbar dan Perwakilan dari 16 Korporasi sawit Sulbar.
Sebagai tuan rumah workshop, Ketua DPW Apkasindo Sulbar Andi Kasruddin Raja Muda mengatakan bahwa petani membutuhkan edukasi dan sosialisasi berkaitan sertifikasi ISPO karena akan diwajibkan kepada petani.
“Pemerintah harus terlibat aktif mendorong petani-petani kita di Sulbar, pada khusunya untuk lebih memahami arti dari sertifikat ISPO,” urainya.
Narasumber kegiatan ini antara lain Direktur PPHP Ditjend Perkebunan Kementerian Pertanian, Dr. Prayudi Syamsuri, SP., MP, Direktur BPDPKS Dr. Sunari, Ir. R. Aziz Hidayat, MM dari GAPKI Pusat, Ir. Kawali Tarigan dari DPP APKASINDO dan Agustina Palimbong dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulbar.
Agustina dalam pemaparannya mengatakan bahwa total dari 16 korporasi di Sulbar, 6 perusahaan anggota GAPKI sudah ISPO semua dan petani sawit masih kesusahan dalam melengkapi persyaratan ISPO yang cukup susah di jangkau untuk kalangan petani.
“Makanya kami Disbun Sulbar sangat menyambut baik workshop ISPO ini, karena permasalahan utama untuk capaian ISPO ini adalah di petani sawit dan di Sulbar petani sawit lebih dominan dari korporasi, untuk itu terimakasih kepada APKASINDO” ujarnya.
Ketua Umum DPP APKASINDO dalam sambutannya mengatakan setelah mendengar adanya sertifikasi ISPO di sektor hilir sawit akan menjadi beban bagi petani. Karena petani masih tertatih-tatih dalam proses pelaksanaan ISPO.
“Saya melihat sertifikasi ISPO yang selalu bergejolak bagi petani dan sangat menakutkan. Karena itulah, petani sawit ingin mengatakan kepada Bapak Menko Airlangga, bahwa petani belum siap diwajibkan ISP. Itu sudah jauh-jauh hari kami sampaikan saat masih pembahasan Draft Perpres ISPO, tapi konsultan yang merancangnya tidak ambil peduli dan sekarang kejadian apa yang kami takutkan” ujar Gulat.
Perlu diketahui kata Gulat, bahwa sejak tahun 2011, Petani sawit yang berhasil mendapatkan sertifikasi ISPO sampai bulan Oktober 2022, tercatat baru 20.910,47 hektar atau baru 0,31% dari total luas perkebunan sawit yang dikelola oleh petani (6,72 juta hektar).
Sedangkan Korporasi yang sudah memiliki sertifikasi ISPO tercatat 3.663.221,96 hektar, atau baru 37,92% dari total luas perkebunan sawit yang dikelola korporasi. Sejak 2011, secara total perkebunan kelapa sawit Indonesia dari 16,38 juta hektar baru 22,49% yang sudah ISPO, ujarnya.
“Kalau dalam kondisi masih minimnya yang sudah ISPO, terkhusus petani sawit, tentu yang patut di evaluasi adalah kendala yang dihadapi petani sawit khususnya, bukan nambah-nambah aturan” tegas Gulat.
Menurut Gulat, ada lima poin utama mengapa petani sawit baru 0,31% yang ISPO sejak tahun 2011, pertama adalah status Kawasan perkebunan sawit petani yang di klaim oleh KLHK. Kedua, sulitnya petani meraih STDB (surat tanda daftar budidaya). Ketiga, awamnya petani tentang SPPL (izin lingkungan). Keempat, pencatatan usaha budidaya sawit yang minim dan kelima, penerapan GAP (good agricultural practices), kelimanya ini adalah bagian utama syarat mutlak menuju ISPO.
Selain kelima faktor ini, kata Gulat, ada tiga faktor eksternal sebagai penyebab minimnya petani sawit ber sertifikasi ISPO. Pertama, biaya yang cukup besar untuk melengkapi persyaratan ISPO termasuk biaya untuk lembaga sertifikasi. Kedua, tidak adanya harga premium TBS yang sudah ISPO dan ketiga, minimnya pengetahuan petani tentang ISPO.
“Saya mendengar “bisik-bisik” bahwa Perpes ISPO Nomor 44 Tahun 2020 ini sedang proses revisi, ini kesempatan untuk mengevaluasi secara keseluruhan. Jangan sampai dijadikan proyek dari konsultan perancang ISPO tersebut,” tambahnya.
Harusnya Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai yang menanggungjawabi tentang ISPO ini mengevaluasi kendala-kendala ini, bukan malah menambah-nambah aturan dan kewajiban lainnya, tegasnya.
“Mengapa saya bilang bisik-bisik karena memang kami petani sawit tidak pernah diundang untuk ikut berpartisipasi memberi masukan proses revisi tersebut dan kalau memang benar proses revisi ISPO sedang berlangsung, ini sudah keterlaluan” ujarnya.