Jangan remehkan peranan teknologi informasi (TI) di perkebunan sawit. Kalau dikelola dengan benar, penggunaan TI bukanlah pemborosan melainkan alat pendukung kinerja perusahaan. PT Aplikanusa Lintasarta salah satu perusahaan yang dapat dipercaya pelaku usaha sawit.
Teknologi yang berkembang cepat jelas tak mampu dihindari sehingga akurasi dan kecepatan menjadi kebutuhan yang fundamental. Bagi perusahaan sawit persoalan teknologi masih banyak dihiraukan sehingga produktivitas CPO pun tidak mampu dikerek secara maksimal. Hal ini terbukti dari masih terjadinya penyimpangan (fraud) yang terjadi di perkebunan. Disinilah peran teknologi informasi menjadi solusi dari masalah tersebut.
Pelaku sawit seringkali menganggap implementasi TI sebagai pemborosan karena biaya yang dikeluarkan sangat tinggi. “Kelemahan pertama memang sering dianggap biaya implementasi ini mahal, sebenarnya tidak karena setelah itu kita mampu kalkulasi berapa persen biaya yang dibutuhkan, dan berapa outcome yang mampu diraih,” ujar Hendra Prayogi, West Indonesia Region VP PT Aplikanusa Lintasarta sebagai pembicara pada acara Diskusi Majalah Sawit Indonesia pada pertengahan Februari di Medan.
Hendra Prayogi memberikan tips beberapa aspek penting dalam pemilihan partner untuk layanan teknologi informasi, antara lain investasi berhubungan dengan business outcome. Lalu, perusahaan yang memakai investasi IT dikeluarkan antara 8%-15% dari hasil peningkatan baru. Yang paling utama adalah mudah dioperasikan dan perusahan penyedia layanan mudah dihubungi ketika ada permasalahan.
Dengan menekan tindakan penyimpangan yang dilakukan karyawan, kata Hendra Prayogi, berpotensi meningkatkan pendapatan. Ditambah lagi dengan terciptanya efisiensi dan efektivitas setelah menerapkan TI melalui beragam aplikasinya di perkebunan.
Ada beberapa contoh aplikasi TI misalnya berupa penggunaan CCTV untuk fungsi pengawasan di kebun, pemantauan angkutan CPO lewat GPS tracking, dan layanan video conference yang berguna untuk kecepatan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan ini menjadi satu hal yang cukup vital dalam perusahaan perkebunan sawit mengingat harga CPO yang fluktuatif, sifat CPO yang tidak mampu bertahan lama.
“Kalau semua sudah mampu termonitor secara terintegrasi kemudian industri juga akan lebih fokus kepada industrinya, kepada core bisnisnya. Kemudian yang tadinya ada alokasi biaya investasi menjadi outsource,” jelas Hendra.
Mengenai lokasi perkebunan sawit yang terpencil dan jauh dari perkotaan yang sering menjadi masalah dalam akses informasi dan komunikasi pun kini mampu diatasi. Melalui teknologi satelit persoalan lokasi tak lagi menjadi kendala. Umumnya kebutuhan komunikasi yang dibutuhkan perusahaan perkebunan sawit mampu dijawab melalui teknologi satelit VSAT (Very Small Aperture Terminal). Satelit VSAT menggunakan teknologi C-Band, dan Ku-Band ini mampu menjelajah hingga wilayah yang tak terjangkau media terrestrial.
Meskipun banyak membantu, Hendra mengingatkan bahwa bagaimanapun TI merupakan hanya sekedar alat bantu. Butuh hal yang lebih fundamental dari perusahaan untuk penerapan TI. “Kebanyakan kasus yang ditemui dalam kegagalan TI justru bukan pada teknologinya melainkan resistensi terhadap perubahan dari internal perusahaan,” ungkap Hendra.
Maka dibutuhkan komitmen tinggi dari perusahaan untuk menerapkan teknologi dalam rangka mendongkrak produktivitas. Komitmen perusahaan menjadi hal yang mendasar dalam reformasi implementasi TI di perkebunan. Selain itu, dibutuhkan pula manajemen konflik yang sehat karena implementasi TI tentu akan merestrukturasi perusahaan sebagai organisasi, karena implementasi TI bukan hanya meengubah cara kerja melainkan budaya kerja.
Hendra menyebut aspek tersebut perubahan manajemen dalam menghadapi zaman yang kian pesat berkembang. “yang diperlukan pertama bagaimana kita memiliki visi selangkah dua langkah untuk maju ke depan bukan bagaimana hari ini kita menghasilkan apa melainkan kita berpikir dua tahun kita menjadi apa. Jadi bukan hanya visi saja bila implementasi di lapangan mandeg, akhirnya juga tidak akan berjalan. Untuk itu, dukungan dari level atas manajemen sampai paling bawah wajib berjalan,”katanya.
Oleh karenanya dibutuhkan satu organisasi khusus di perusahaan yang memang bertanggung jawab penuh terhadap implementasi. Pun juga dibutuhkan individu-individu yang memang berkompeten di bidangnya. “Proses ini tentu akan lebih efisien, jadi para pemimpin perusahaan cuma tahu pakai saja,” tambah Hendra.
Hendra mengatakan kata kuncinya dalam implementasi TI adalah alat-alat yang digunakan harus mudah dioperasikan dan kelancaran komunikasi. Bila hal semua komponen ini telah terpenuhi, Hendra yakin perusahaan akan meraup banyak keuntungan yang bukan hanya datang secara materi melainkan juga dari etos kerja para pegawai. (Anggar Septiadi)