Penulis: Tim PASPI
Pendahuluan
Uni Eropa merupakan produsen biodiesel terbesar di dunia dengan kapasitas industri mencapai 21 juta kiloliter pada tahun 2018 (USDA, 2018). Tingginya produksi biodiesel UE-28 berimplikasi pada besarnya kebutuhan bahan baku biodiesel (feedstock) yang digunakan yakni minyak rapeseed. Meskipun pangsa minyak rapeseed yang terbesar namun penggunaannya mengalami penurunan, sebaliknya pangsa penggunaan minyak sawit dalam industri biodiesel EU-28 mengalami peningkatan. Hal ini tampaknya memicu kekhawatiran EU-28 yang diimplementasikan menjadi sebuah kebijakan crop apharteid untuk menghambat perdagangan minyak sawit di pasar EU-28 (PASPI, 2019b).
Salah satu kebijakan EU-28 yakni Delegated Act on Low and High ILUC-Risk Biofuel (RED II) menggolongkan minyak sawit sebagai “high risk-ILUC biofuel”. Dampak negatif yang ditimbulkan konversi tidak langsung lahan hutan menjadi lahan bahan baku biofuel/biodiesel ini dianggap sebagai “dosa” tanaman biofuel (minyak sawit). Kebijakan tersebut memperkirakan semakin meningkatnya permintaan biodiesel EU-28 maka akan meningkatkan kebutuhan bahan baku yakni minyak sawit. Artinya semakin banyak deforestrasi untuk ekspansi lahan kebun sawit demi memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel UE-28. Berdasarkan paradigma tersebut, UE-28 menghapuskan (phase out) pengunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel pada tahun 2030.
Pemberlakuan kebijakan RED II ILUC tersebut berpotensi mempengaruhi industri minyak sawit dan neraca perdagangan Indonesia. Mengingat EU-28 merupakan salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia dengan pangsa sebesar 14 persen periode tahun 2010-2018 (ITC Trademap, 2019). Industri biodiesel EU-28 menggunakan 30 persen minyak sawit yang diekspor Indonesia sebagai bahan baku.
Besarnya potensi dampak dari pemberlakuan kebijakan tersebut membutuhkan mitigasi resiko dalam bentuk rancangan kebijakan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kebijakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder terkait dalam rangka memitigasi dampak pemberlakuan RED II ILUC.
Dampak Penghentian Impor Minyak Sawit RI Oleh EU-28
Berdasarkan hasil kajian penghentian ekspor minyak sawit Indonesia ke UE-28 sebagai dampak dari pemberlakuan kebijakan RED II ILUC yang dilakukan oleh PASPI (2019a) menunjukkan bahwa penurunan harga CPO dan TBS domestik sehingga akan menurunkan kesejahteraan (surplus) produsen baik produsen namun mampu meningkatkan permintaan industri hilir (walau dengan persentase yang kecil) serta menurunkan penerimaan pemerintah Indonesia. Dengan demikian berdasarkan hasil model simulasi, dampak penghentian impor sawit dari Uni Eropa akan penurunan kesejahteraan secara total.
Penghentian impor minyak sawit oleh EU-28 juga berdampak pada neraca perdagangan Indonesia dengan negara tersebut. Total neraca perdagangan (dengan sawit) antara Indonesia dengan UE-28 menunjukkan surplus artinya nilai ekspor lebih besar dibandingkan nilai impor selama periode tahun 2001-2018.
Net trade Indonesia dengan EU cenderung berfluktuasi namun trennya masih menunjukkan arah yang positif. Surplus net trade atau neraca perdagangan Indonesia dengan UE-28 disebabkan karena ekspor minyak sawit Indonesia ke UE-28. Nilai ekspor sawit Indonesia ke UE-28 mengalami peningkatan dari USD 0.29 miliar menjadi USD 3.57 miliar. Sedangkan neraca perdagangan tanpa sawit Indonesia dengan EU menunjukkan penurunan surplus khususnya sejak tahun 2011. Bahkan neraca perdagangan berubah menjadi defisit pada tahun 2013 dan 2018. Sebaliknya, ekspor minyak sawit ke EU-28 masih konsisten meningkat. Hal ini membuktikan bahwa yang membuat neraca perdagangan surplus antara RI dan EU-28 adalah ekspor minyak sawit. Sehingga jika EU-28 melarang masuknya minyak sawit (RED II/ILUC) tidak hanya berdampak pada ekspor sawit sendiri tetapi juga berpotensi merubah neraca perdagangan RI – EU 28 dari surplus menjadi defisit.