NUSA DUA, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi sepakat bahwa kebijakan restorasi gambut tidak bisa meminggirkan peranan kelapa sawit di Indonesia. Gambut yang merupakan lahan marginal cocok dipakai sebagai kebun sawit.
“Hebatnya sawit bisa tumbuh di tanah marginal seperti tanah gambut. Makanya pemilik lahan yang tanahnya kurang subur akan memilih konversi ke sawit,” kata Dr. Suwardi, Wakil Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor di sela-sela IPOC 2016 di Nusa Dua, Bali, Jumat (25/6).
Dibandingkan tanaman minyak nabati lain, ujar Suwardi, tanaman sawit mampu meraih produktivitas 3,5 ton per hektare itupun ditanah tidak subur. Lain halnya, tanaman kedelai di Amerika Serikat yang memakai tanah subur kemampuan produktivitasnya 0,4 ton per hektare.
Menurut Suwardi tingginya produktivitas membuat minyak sawit sulit ditandingi minyak nabati lain. “Ini yang menjadi pertanyaan kami kenapa sawit dilarang BRG, lalu lebih pilih nanas,”ujar Suwardi.
Dr.Basuki Sumawinata, Pakar Kehutanan dari Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) meminta Badan Restorasi Gambut (BRG) mempertimbangkan pemilihan nanas untuk tanaman di lahan gambut. Pasalnya nanas ini harus dibongkar setiap tahunnya setelah dipanen sebanyak dua kali.
“Nanas ini harus diremajakan tiap tahun. Jika dibongkar terus (nanas) maka akan berdampak kesuburan tanah,”kata Basuki.
Prof. Ir. Chairil A. Siregar, MSc., PhD, Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, mengatakan pemerintah sebaiknya tidak membuat kebijakan restorasi yang bersifat emosional. Terutama aturan yang dibuat atas dasar tekanan NGO.
“Saya sering katakan dalam berbagai forum bahwa kebijakan pemerintah harus realistis. Pertimbangannya populasi penduduk tumbuh satu persen setiap tahun atau sekitar dua juta jiwa,” ujarnya.
Dalam hal ini, kata Chairil, kegiatan produksi di lahan gambut itu penting. Sama halnya dengan kegiatan konservasi di lahan gambut.
“Penamaan badan restorasi juga tidak tepat karena mengarah pemulihan fungsi awal gambut Cocoknya itu rehabilitasi,” tegasnya. (Qayuum)