JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Efek domino kebijakan pencabutan izin konsesi di kawasan hutan akan berdampak kepada sektor perekonomian lainnya salah satunya perbankan. Dr. Rio Christiawan, Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetya Mulya, menjelaskan terbitnya Kepmen LHK No SK.01/2022 sangatlah mengejutkan semua pihak karena prosesnya dapat dikatakan tidak transparan. Selain itu, pembahasan beleid ini sebelum diterbitkan juga tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
“Dapat dikatakan keputusan tersebut tidak memenuhi asas transparansi dalam penerbitan SK (red-surat keputusan). Misalnya ada pelepasan kawasan yang sudah terbit SK dan sudah dimanfaatkan sesuai peruntukan. Justru tiba-tiba dicabut, hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum ,” ujarnya dalam perbincangan melalui telepon.
Ia mengatakan pencabutan izin sudah pasti akan berdampak negatif dan meluas kepada sektor lain. Sudah pasti masalah ini akan berdampak negatif di aspek perbankan terkait jaminan. Misalkan ada kasus HGU (Hak Guna Usaha) yang terbit berdasarkan SK Pelepasan Izin Konsesi untuk Kawasan Hutan. Apabila SK pelepasan dicabut lagi oleh Kementerian LHK ini berarti HGU tersebut kembali ke dalam kawasan hutan.
“Kemungkinan salah satu dampak dari SK tersebut adalah mengakibatkan perusahaan terdampak bermasalah dengan kovenan ( terjadi pelanggaran syarat pembiayaan ) dari bank atau lembaga pembiayaan lainnya,” ujar Rio.
Sebagai informasi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencabut 192 izin usaha konsesi kawasan hutan melalui Kepmen LHK No SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Adapun 192 unit perizinan atau perusahaan tersebut tercatat menguasai lahan seluas 3.126.439,36 hektare.
Beleid ini mulai berlaku 6 Januari 2022. Selanjutnya, kementerian telah mencabut 42 izin usaha konsesi kawasan hutan pada periode September 2015 sampai Juni 2021 seluas 812.796,93 hektare.
Ia menambahkan aspek keuangan lainnya dengan terbitnya SK tersebut akan sangat berdampak negatif bagi saham perusahaan publik sektor kehutanan terdampak SK tersebut.”Investor yang akan masuk pada industri ini pun akan ragu dengan aspek kepastian hukum,” jelasnya.”
Menurut Rio, dapat dikatakan keputusan tersebut tidak memenuhi asas transparansi dalam penerbitan sebuah SK. Misalnya ada pelepasan kawasan yg sdh terbit SK dan sudah dimanfaatkan sesuai peruntukan justru tiba tiba dicabut. Hal ini justru menyebabkan ketidakpastian hukum dan justru yang menjadi pertanyaan bagi investor adalah kebijakan tata ruang( baca : penetapan peta arahan peruntukan) tidak memiliki acuan dan kontinuitas.
“Jika sekarang perusahaan tertentu telah mendapat SK namun di kemudian hari terdapat program pemerintah lantas bagaimana kepastian SK yang telah terbit tersebut,” katanya.
Rio berpendapat apabila isunya dikatakan tidak dikelola dengan benar. Seharusnya ada mekanisme peringatan dan ada hak klarifikasi dari pemegang hak. Sebab, pemegang SK juga telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk memperoleh izin dan biaya investasi selama ini.