JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerima masukan dan saran DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) berkaitan RPP Cipta Kerja Sektor Kehutanan. Usulan ini diterima dalam audiensi yang berlangsung 2 jam antara DPP APKASINDO dengan Sekjen Kementerian LHK, Bambang Hendroyono di kantornya, Kamis (14 Januari 2021).
Perwakilan APKASINDO antara lain Dewan Pembina dan Dewan Pakar DPP APKASINDO, yaitu Mayjend TNI Purn Erro Kusnara, S,IP yang juga Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Dr. Tri Chandra Dewan Pakar DPP APKASINDO yang juga Asisten Staf Khusus Kantor Wakil Presiden dan Samuel Hutasoit, SH.,MH, CLA dari Dewan Pakar DPP APKASINDO bidang hukum dan Advokasi.
“Kami sudah bertemu dengan Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Bambang Hendroyono di kantor Kementerian LHK dalam suasana yang awalnya cukup menegangkan. Tapi berkat manajerial berkelas Pak Bambang (Sekjen LHK) suasana langsung cepat cair dan penuh keakraban. Ya Ibu Menteri Siti Nurbaya, mengamanahkan Pak Sekjend LHK dan tim untuk menerima DPP APKASINDO”, ujar Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDO.
Rino menjelaskan bahwa suasana diskusi dengan Sekjen LHK sangat hidup dan aspirasi APKASINDO melalui surat resmi dan lmedia masa menjadi perhatian serius kementerian LHK dan Tim RPP UUCK. Sebagaimana penjelasan Sekjen LHK Bambang Hendroyono.
Menurut Bambang, poin dari surat DPP APKASINDO yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum DPP APKASINDO sudah didiskusikan.
“Alhamdulilah dalam paripurna Tim RPP sudah diakomodir. Kami berterimakasih atas perjuangan DPP APKASINDO akan nasib rekan-rekan petani sawit di seluruh Indonesia, ini kami apresiasi, ” tuturnya.
Sekjen Kementerian LHK mengakui kelapa sawit punya peran penting bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, melalui UUCK dan RPP kehutanan negara memberikan kepastian legalitas dan kepastian berusaha, khususnya kepada petani.
Rino menjelaskan poin-poin mana saja yang diakomodir dalam RPP UUCK, seperti tentang defenisi Perizinan, dimana STDB sah disamakan dengan izin, jadi tidak seperti perizinan perusahaan perkebunan. Jadi kunci izin sudah dibuka, dengan demikian lahan petani sawit maksimal 25 Ha yang diduga berada di dalam Kawasan hutan dapat dilepaskan dari Kawasan hutan setelah menempuh mekanisme yang diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja Sektor Kehutanan.
Mengenai denda administrasi, perhitungan keuntungan bersih ditentukan berdasarkan laporan petani dan besarnya tidak harus sama setiap tahun tergantung kondisi agronomis tanaman dan perhitungan tegakan kayu hutan primer, jika pada saat lahan diperoleh petani memang tidak terdapat kayu berhutan, maka variable “tarif denda atas penggunaan volume kayu” tidak diperhitungkan, ini sangat melegakan kami Petani.
Tentang Pasal 55 yang sebelumnya disebut Petani dapat dipidanakan karena berkebun dalam Kawasan hutan, dalam RPP Final sudah dihapus karena bertentangan dengan UUCK Nomor 11 Tahun 2020. Dengan demikian penyidikan yang sedang berjalan atas dugaan kegiatan perkebunan sawit dalam Kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja harus dihentikan demi hukum.
Selanjutnya tentang penyelesaian kebun petani yang diklaim dalam Kawasan hutan yang belum mencapai tahap Penetapan sesuai dengan UU Perkebunan, akan diselesaikan paling lama tahun 2022, dengan dasar patokan adalah kondisi eksisting dilapangan sebelum UUCK ini disahkan.
“Jadi pembukaan kebun sawit dalam Kawasan hutan yang terindikasi dalam Kawasan hutan setelah UUCK disahkan Oktober 2020 tidak akan diakomodir dalam defenisi eksisting di lapangan” ujar Rino.