Saat ini perkebunan kelapa sawit rakyat menjadi perkebunan rakyat yang paling prospektif dibandingkan perkebunan rakyat lainnya – perkebunan rakyat paling luas – paling banyak petaninya, paling mampu membangun kesejahteraan petani, paling mampu memeratakan pendapatan, memerangi kemiskinan dan kelaparan, memberikan pendidikan petani dan anak petaninya, berkontribusi untuk devisa, berkontribusi untuk ketahan energi. Sampai kapan?
Perkebunan rakyat kelapa sawit berkembang sangat pesat. Peran pemerintah ada saat awal dengan pembangunan PIR kelapa sawit, kemudian kebun plasma dan selanjutnya berkembang sendiri dan tidak banyak minta peran pemerintah. Apabila pada awalnya perkebunan didominasi perkebunan Plasma-PIR dengan model kemitraan, saat ini perkebunan rakyat didominasi perkebunan rakyat swadaya yaitu sekitar 93 %. Namun pada beberapa tahun terakhir pemerintah mulai membantu oleh karena ada bagian dana yang harus dikembalikan dan dibagikan kepada petani dari pungutan ekspor.
Tantangan Pembangunan Perkebunan Sawit Rakyat
Secara ekonomi perkebunan rakyat sawit akan bisa tetap eksis apabila mampu membangun daya saing produk dengan dihasilkan secara ramah lingkungan, dan mampu mensejahterakan para pelakunya secara berkelanjutan. Dalam sejarah perkembangan perkebunan rakyat, satu komoditas merosot oleh karena gagal membangun keberlanjutannya yang disebabkan oleh; (1) kemerosotan harga, (2) kegagalan mengendalikan biaya, (3) resiko budidaya dari alam dan hama-penyakit, (4), munculnya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan atau produk alternatif yang lebih murah dan (5) terkait regulasi dan keberpihakan.
Harga komoditas perkebunan berfluktuasi, dengan trend harga riil yang cenderung menurundalam rentang waktu jangka panjang dan lebih diarahkan oleh perkembangan industri hilirnya. Perkebunan rakyat sawit menghasilkan TBS yang harus diolah, sehingga memiliki ketergantungan kepada Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Kondisi ini menciptakan pasar monopsoni atau olIgopsoni dimana dalam satu wilayah hanya ada satu atau beberapa PKS, dengan demikian petani memiliki daya tawar yang rendah, lebih sebagai penerima harga. Fluktuasi harga asimetris, kalau harga CPO naik maka harga ditingkat petani naik dengan nilai yang tidak simetris relatif lebih rendah dan berjalan lambat. Demikian pula saat harga CPO turun, harga TBS petani cenderung turun dengan nilai relatif lebih besar dan pergerakan yang cepat. Daya tawar petani hanya bisa ditingkatkan apabila petani bersatu bekerjasama untuk memasarkan bersama dalam satu kelembagaan ekonomi petani sehingga bentuk pasar menajdi bilateral monopoli dan petani memiliki daya tawar yang seimbang.
Apabila petani masih sendiri-sendiri maka tidak akan pernah memiliki posisi tawar yang seimbang. Barangkali kondisi ini tidak terjadi pada perkebunan rakyat model kemitraan Plasma-PIR karena mereka sudah membentuk satu kelembagaan dan membangun kemitraan dengan perusahaan/pabrik kelapa sawit, tapi itu hanya sekitar 7 % dari total petani sawit rakyat. Saat ini, petani sawit rakyat khususnya swadaya yang meliputi 93 % belum merasakan memperoleh pembagian nilai yang adil dari total nilai dalam rantai pasok industri sawit. Ini menjadi tantangan terbesar untuk dapat segera diselesaikan.
Harga pokok usahatani sawit apabila dihitung dengan pendekatan ekonomi bukan usahatani (subsisten) maka cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga pokok perusahaan perkebunan yang dikelola dengan manajemen yang baik. Hal utama yang menyebabkan adalah manajemen produksi yang lemah menjadikan produktivitas yang rendah. Manajemen diartikan sebagai tatakelola pelaksanaan “best practices” budidaya yang meliputi seperangkat teknologi, baik kecukupan sarana produksi dan pemeliharaan tananaman. Tatakelola menuju “best practices” sulit terwujud karena petani bekerja sendiri-sendiri dengan keterbatasan masing-masing yaitu modal, sarana produksi, tenaga kerja, ketrampilan dan pengetahuannya. Tantangan ini perlu terus diupayakan agar harga pokok dapat terkendali dan lebih rendah dibanding produk alternatifnya.Untuk bisa melakukan “best practices” petani membutuhkan modal yang cukup, sarana produksi yang cukup, alat-mesin perkebunan yang sesuai kebutuhan, ketrampilan yang baik, pengetahuan yang baik. Pemerintah perlu meningkatkan aksesbilitas, kapasitas, kapabilitas perkebunan rakyat dan Pemerintah dapat membantu perkebunan rakyat melalui kelembagaan petani yang baik. tanpa kelembagaan petani efektivitas dan efisiensi bantuan tidak dapat tercapai.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 110)