JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit merasa gelisah dengan pengumuman sejumlah pabrik sawit yang memangkas harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani setelah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) diberlakukan. Adalah Daru Widiyatmoko, petani sawit asal Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur, yang khawatir harga TBS sawit dari kebunnya bakalan dipotong oleh pabrik sawit.
“Kami khawatir pabrik sawit di wilayah Kukar mengikuti provinsi lain yang memangkas harga TBS petani. Sekarang harga di sini masih stabil. Lain halnya dengan daerah di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Aceh, Jambi dan Kalimantan Selatan. Di sana, petaninya sudah mengeluhkan harga TBS dipotong sebesar Rp 300 sampai Rp 1.000 per kilogram,” ujar Daru melalui sambungan telepon, Sabtu (29 Januari 2022).
Di grup WhatsApp petani sawit, informasi penurunan harga sudah didengar semenjak Jumat malam (28 Januari 2022). Sebagai contoh di Subussalam, PT BSL mengumumkan harga TBS per 29 Januari 2022 turun Rp 1.000/kg menjadi Rp 1.960/kg.
Di Rokan Hulu, Riau, harga TBS dari salah satu pabrik turun Rp 1.000/kg menjadi Rp 2.130/kg, dari sebelumnya Rp 3.130/kg.
Gejolak harga sawit mulai terlihat setelah terjadi withdraw atau dianggap batal karena harga tidak sesuai dalam tender sawit PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Inacom pada 28 Januari 2022. Bahkan ada peserta tender mengajukan harga sebesar Rp 8.450/kg.
Gus Harahap, Ketua DPW APKASINDO Sumatera Utara, menengarai harga TBS sawit petani di Sumatera Utara berpotensi turun antara Rp 800 – Rp1000/kg. Situasi ini juga disebabkan adanya pabrik sawit yang berupaya curi start atas penerapan Permendag Nomor 6/2022 mengenai Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Sawit.
“Selain itu, pabrik juga memukulratakan harga dasar CPO terhadap produksinya,” ujar Gus Harahap.
Padahal, Kementerian Perdagangan telah menjelaskan bahwa Domestic Price Obligation (DPO) sebesar Rp 9.300/kg dan Rp 10.300/kg untuk olein diberlakukan kepada eksportir yang diwajibkan memasok 20% kebutuhan domestik bagi stabilisasi minyak goreng.
“Harga DPO ini diberikan kepada eksportir untuk memenuhi kebutuhan 20 persen dengan harga tertentu tadi,” jelas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana.
Sebagai informasi, mekanisme kebijakan DMO atau kewajiban pasokan ke dalam negeri berlaku wajib untuk seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor. Nantinya, seluruh eksportir yang akan mengekspor wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari volume ekspor mereka masing–masing.
Selain itu, Kemendag menetapkan kebijakan DPO sebesar Rp9.300/kg untuk CPO dan Rp10.300/liter untuk olein. Kedua kebijakan ini mulai berjalan per 27 Januari 2022.