JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Perencanaan yang matang dan terukur terkadang belum tentu berhasil sesuai target. Demikian juga kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) Kemendag yang berdampak negatif terhadap harga pembelian TBS Petani sawit. Sejak awal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) sudah menyampaikan usul dan syarat dalam pelaksanaan stabilisasi harga minyak goreng.
“Kami sudah wanti-wanti resiko dan syarat yang harus terpenuhi untuk antisipasi kegaduhan, karena memang sangat rentan. Seperti harga DPO sebesar Rp 9.300 per kilogram jangan menjadi patokan pembelian harga TBS petani. Itu sudah tegas-tegas kami sampaikan sejak awal,” tega Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,CIMA, Ketua Umum DPP APKASINDO.
Faktanya, kata Gulat, semua pabrik sawit menggunakan harga patokan sawit Kemendag sebagai bayangan (rujukan).”Maka rontoklah harga TBS kami petani sawit sejak Jumat (28/1), karena teorinya seperti itu, nendang ke bawah,” ujarnya.
Agar kejadian ini tidak berlarut-larut, Gulat meminta Satgas Pangan Kemenko Perekonomian harus turun gunung. Jangan sampai terlambat karena dunia memperhatikan kewibawaan negara dalam hal perlindungan rakyatnya dalam menata perekonomian Indonesia. Ini sangat terkait dengan kenyamanan investasi dan stabilitas ekonomi.
“Presiden Jokowi menegaskan kebijakan harus pro rakyat. Tetapi, Kemendag ini outside. Perubahan subsidi minyak goreng menjadi DMO dan DPO sudah menggambarkan plin-plannya Kemendag,” kata Gulat.
Ia menyebutkan pembatasan ekspor sangat baik dalam menjaga stok dan hilirisasi dalam negeri, namun juga harus cermat melihat kondisi dunia. Sesungguhnya Bea Keluar dan Pungutan Ekspor yang tinggi sudah mewakili pembatasan tersebut.
“Perlu dicatat bahwa ekspor CPO sangat kecil, gak lebih dari 14%. Berbeda dengan tiga tahun lalu berkisar 60%-80%. Meskipun kecil saat ini, jika sama sekali di tutup ekspor CPO akan membuat tanki timbun CPO full. Inilah yang akan berdampak kepada pembelian harga TBS petani sawit karena pabrik akan mengurangi kapasitas produksinya,” ujar Gulat.
Menurutnya kebijakan stabilitas harga migor cukup menjaga kebutuhan masyarakat menengah kebawah. Tetapi ini dipukul rata semua. Termasuk subsidi produk minyak goreng premium untuk kelas ekonomi ke atas (kemasan mahal).
“Kalau semua kelas minyak goreng disamaratakan, babak belur Kemendag dan TBS petani sawit jadi sasaran. Sama seperti bensin premium, pertalite dan pertamax, semua itu ada konsumennya. Tidak mungkin Mercy pakai Premium atau Pertalite,” pungkasnya.