Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan mencegah kebakaran hutan, dalam implementasinya justru memberi dampak yang merugikan bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di Provinsi Riau. Sebab, sebagian besar masyarakat di sana menggantungkan hidup pada industri kelapa sawit yang ditanam pada lahan gambut.
Hal ini diungkapkan Saut Sihombing, Ketua Gabungan Pengusa Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, usai pelantikan pengurus GAPKI Cabang Riau periode 2017-2020 di SKA Co Ex, Riau, Jumat (11/8). Turut hadir pada acara tersebut, antara lain, Joko Supriyono Ketua Umum GAPKI, Arsyadjuliandi Rachman Gubernur Riau dan anggota GAPKI lainya.
Saut Sihombing menolak keras kebijakan tersebut karena karena tidak berpihak kepada masyarakat yang selama ini bergantung di areal gambut, di mana PP 57 Tahun 2016 berlaku secara umum untuk setiap orang tidak hanya mengatur untuk pemegang izin atau koperasi semata. Akibatnya, masyarakat yang selama ini bercocok tanam dan bermukim pada kawasan ekosistem gambut dengan fungsi lindung pun akan terusir dari tanahnya sendiri.
“Seluruh petani yang berkebun di gambut menjadi kebingungan dan ketakutan, keberadaan kebun digambut seolah-oleh menjadi malah petaka dan penyebab kebakaran. Padahal masalanya bukan di situ,” katanya.
Ia mengungkapkan, implementasi aturan itu akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, dan termasuk nasib keluarga mereka yang menggantungkan hidup di sektor sawit. Karena faktanya, sektor sawit memiliki porsi yang jauh lebih besar dalam menggerakan perekonomian masyarakat dan melibatkan banyak tenaga kerja di Riau dibandingkan industri HTI, di mana dari hasil kajian Bank Indonesia, bahwa 47% ekonomi Riau digerakan dan ditopang oleh industri kelapa sawit.
Selain itu, pemberlakukan PP 57 Tahun 2017 mempunyai dampak langsung menimbulkan kerugian ekonomi, berupa kerugian atas investasi tanaman dan penurunan produktifitas. Sebab, bahan baku untuk produksi kian berkurang sehingga perusahaan merugi dan memilih menutup usahanya.
“Untuk sekarang dampaknya belum dirasakan tetapi masih proses, mungkin beberapa waktu lagi untuk pekerja-pekerja dan perusahaan. Jadi, untuk apa perusahaan dipertahankan karena merugi,” jelas dia.
Namun disaat kebakaran hutan dan lahan sudah reda dari tahun 2013-2015, pemerintah terkesan memaksakan aturan PP 57 Tahun 2016, dengan menerbitkan aturan turunan P17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017. Seharusnya, pemerintah bisa mencari jalan lain, dengan mengkaji ulang tentang dampak pembukaan lahan di areal gambut bagi masyarakat dan ekosistem, lewat serangkaian penelitian ilmiah.
“Mereka membuka lahan karena tidak mempunyai uang, bahkan untuk membersihkan lahan menggunakan alat berat seperti kampak dan parang. Yang seharusnya dilakukan pemerintah bagaimana mereka tidak membakar lahan dan lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah sehingga tidak merugikan masyarakat,” jelasnya.