JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Istilah pemutihan kebun sawit yang saat ini ramai diperbincangkan tentunya tidak terlepas oleh kondisi carut marutnya pengelolaan hutan yang terjadi di Indonesia. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menyampaikan data luasan perkebunan sawit dalam Kawasan hutan yang menggunakan istilah “indikasi” tanpa melakukan klarifikasi dan identifikasi digunakan untuk menjustifikasinya. Tentu yang namanya “indikasi” belum tentu benar dan bersifat spekulatif angka yang digunakan mencapai 3.4 juta ha. Kementrian LHK seolah abai bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengabulkan Permohonan Pemohon dalam Putusan MK No 34/PUU-IX/2011 terkait dengan “penguasaan hutan oleh negara harus memperhatikan hak atas tanah (SHM, HGU, HGB, Hak pakai dan hak lainnya yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib,
bersih, makmur, dan berkeadilan. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai amanah dari ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, diharapkan setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan permohonan. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Permohonan Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 yang mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan “penguasan hutan oleh negara tetap mempehatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.” Pemohon mengajukan dalam Permohonan agar “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak atas tanah yang telah terbebani hak berdasarkan undang – undang, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Pemohon beralasan bahwa dengan tidak adanya pengakuan hak atas tanah yang telah terbebani hak berdasarkan Undang – Undang, hal tersebut merugikan Pemohon. Di luar kasus konkret yang dihadapi oleh Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonannya, Mahkamah dapat membenarkan substansi dalil permohonan Pemohon tersebut. Menurut Mahkamah, dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak – hak lainnya atas tanah. Hak – hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak – hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma a quo.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan, sehingga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak memuat pula hak atas tanah yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan. Walaupun Mahkamah tidak berwenang untuk mengubah kalimat dalam Undang – Undang, karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh pembentuk Undang – Undang yaitu DPR dan Presiden, namun demikian Mahkamah dapat menentukan suatu norma bersifat konstitusional bersyarat.
Mahkamah juga merujuk Putusan Mahkamah Nomor 32/PUUVIII/2010, bertanggal 4 Juni 2012, kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara “imperatif” berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak – hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang – wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karena itu, Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Penyelesaian hak atas tanah dilakukan dengan tahap “inventarisasi dan identifikasi hak – hak pihak ketiga adalah pengumpulan data kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh orang perorang atau badan hukum yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam kawasan hutan dan kegiatan orientasi/peninjauan lapangan untuk mengetahui adanya hak – hak pihak ketiga yang berada di sepanjang rencana proyeksi batas”. Hak – hak pihak ketiga atau hak – hak atas lahan/tanah adalah hak – hak yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan hukum berupa pemilikan atau penguasaan atas tanah yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan. Dalam hal terdapat hak – hak pihak ketiga setelah dikeluarkan pengumuman hasil pemancangan batas sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), maka dilakukan pencatatan inventarisasi dan hasil identifikasi hak-hak pihak ketiga. Hasil pelaksanaan kegiatan pemancangan batas sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan hasil inventarisasi dan identifikasi
hak – hak pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara Pengukuran dan Pemancangan Batas Sementara yang ditandatangani oleh pelaksana tata batas yang diketuai oleh Kepala Instansi Kehutanan Kabupaten/Kota atau Kepala Instansi Pengelola Kawasan Hutan.
Bukti – bukti hak pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat berbentuk tertulis atau tidak tertulis. Pembuktian hak – hak pihak ketiga secara tertulis ditunjukkan dengan adanya bukti yang diperoleh sebelum penunjukan kawasan hutan berupa: a. Hak milik, b. Hak Guna Usaha, c. Hak guna bangunan, d. Hak pakai; dan e. Hak pengelolaan.
Selain bukti hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa bukti tertulis lain sesuai dengan peraturan perundang – undangan di bidang pertanahan antara lain: a. Grose akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad 1834-27)
sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; d. Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan menteri agrarian No 9 Tahun 1959; e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA yang tidak
disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997; g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, yang tanahnya belum dibukukan; h. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP Nomor 28 Tahun 1977; i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; j. Surat penunjukan atau pembelian kavling tanah pengganti tanah yang diambil oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah; k. Petuk pajak bumi/landrente, girik, pipil, ketitir dan verponding Indonesia sebelum berlaku PP No, 10 Tahun 1961; l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kantor
pelayanan pajak bumi dan bangunan, atau, m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan – Ketentuan Konversi UUPA. Dan juga dapat dalam bentuk bukti tertulis disertai klarifikasi dari instansi yang membidangi urusan pertanahan sesuai dengan kewenangannya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 angka 3: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadannya sebagai hutan tetap sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011. Pasca Putusan MK 45/PUU-IX/2011: ”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Kawasan hutan terbagi atas ”hutan negara”: adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. ”hutan hak” adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, dan ”hutan adat” adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Dari definisi hutan negara, hutan hak dan hutan adat, maka jika ada hak atas tanahnya, maka bukan masuk kriteria kawasan hutan, karena jika memasukkan hak atas tanah dalam status kawasan hutan adalah pelanggaran Pasal 28G ayat (1) dan 28 H ayat (4). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan memberikan definisi terkait dengan kawasan hutan: Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Kawasan Hutan Negara adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan Hak adalah Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, Dari definisi tersebut, maka terhadap hak atas tidak termasuk dalam cakupan definisi kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan
Peraturan dibawahnya karena didalam definisi hutan negara dan Kawasan hutan negara …”tidak dibebani hak atas tanah”. Jikalau ada dibebani hak atas tanah, maka masuk kategori dalam “hutan hak”. Hutan hak berarti bersifat privat karena “dialasi atau dibebani hak atas tanah”.
Definisi “hutan negara”, dan “Kawasan hutan negara”, maka Kawasan hutan tentunya tidak “dibebani hak atas tanah” , maka jelas pengertian ini sangat menentukan dari Kawasan hutan itu sendiri sangat memperhatikan hak atas tanah sebagai bentuk perlindungan hukum oleh negara atas hak konstitusional warga negara. Hal ini tentu sesuai dengan asas hukum Presumptio Iustae Causa (Semua tindakan Pemerintah adalah sah dan benar kecuali dibuktikan sebaliknya melalui Pengadilan).
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan juga mengatur definisi Kawasan hutan dalam Pasal 1 terkait dengan Kawasan hutan, hutan negara, hutan adat, hutan hak, Kawasan hutan negara. Kawasan hutan negara adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai Hutan tetap yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah disini adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.
Definisi Kawasan hutan negara tersebut tentunya sudah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak boleh diatur secara berbeda dengan tafsir sepihak dalam peraturan perundang – undangan yang lebih rendah karena Putusan Mahkamah Konstitusi suka sejalan Apabila Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 yang bersifat final dan mengikat sejak dibacakan putusan tersebut oleh Majelis Hakim MK, yang mengabulkan bahwa dalam dalam penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Mahkamah menyatakan, Pasal 4 ayat (3) Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”; dan Pasal 4 ayat (3) Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”; Hak atas tanah seperti SHM, HGU, HGB, HPL dan hak pihak ketiga lainnya merupakan hak konstitusi pemegang haknya yang dijamin oleh UUD 1945 dan tunduk pada UUPA sebagaimana diputuskan oleh Majleis Hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Anwar Usman, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing – masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal sembilan, bulan Juli, tahun dua ribu dua belas.
Apabila SATGAS Perkebunan sawit mengabaikan hak atas tanah (SHM, HGU dll) sebagai produk final, maka dapat dikhawatirkan potensi sengketa hukum terkait proses penyelesaian Pasal 110A dan 110B dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Semoga SATGAS yang dalam Tim Hukum dikomandoi oleh Menkopolhukam selaku Ketua Pemutus dalam Putusan MK No. 34 tahun 2011 dapat ditegakkan dalam menyelesaikan kebun sawit, hak atas tanah dan Kawasan hutan bukan dengan komprehensif.