Daniel Johan, anggota DPR Komisi IV mengatakan Undang-undang Perkelapasawitan diharapkan bisa menyelesaikan masalah perizinan lahan perkebunan, dengan mewajibkan pemilik lahan terkait memenuhi syarat legalitas dari pemerintah. Jika, pemilik lahan tidak memenuhi persyaratan tersebut berdasarkan batas waktu yang ditentukan maka pemerintah berkewenangan memberikan sanksi.
“Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan sebagai jalan keluar karena DPR mendorong kemudahan perizinan lahan. Apabila ditemukan pabrik di lahan hutan, kita memberikan waktu supaya menyesuikan dengan peraturan yang telah ada, jika tidak bisa diberikan sanksi mulai dari pembekuan, pencabutan bahkan pidana,” kata Daniel dalam diskusi publik yang diselenggarakan RSPO di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Kamis (27/1).
Ia menambahkan, jika lahan tersebut menyalahi aturan maka pemerintah berhak mengambil lahan tersebut dengan mempertimbangkan aspek kepastian hukum dan produktivitas pabrik sawit. “Kalau terbukti lahan bermasalah maka harus dikembalikan kepada negara, namun mesti dipertimbangkan apakah lahan sudah ditanami sawit atau berproduksi. Dalam kondisi itu, perlu diberikan kesempatan untuk meneruskan usahanya karena telah terlanjur dibangun pabrik sawit dan lahan perkebunan,” jelasnya.
Sebelumnya, ia sempat melakukan sidak ke perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, namun ia menyayangkan lahan yang telah diubah menjadi pabrik kelapa sawit tersebut masuk dalam daerah konservasi hutan. Selain itu, masih ada sekitar 15,5 juta hektar lahan perkebunan sawit yang belum memenuhi syarat legalitas.
Menurutnya, permasalahan legalitas lahan telah merugikan negara triliunan rupiah, lantaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tidak dibayarkan pemilik lahan, semestinya bisa menjadi pemasukan negara dan daerah. Oleh karena itu, kehadiran Undang-undang Perkelapasawitan dapat menjadi payung hukum untuk memudahkan masalah legalitas lahan tersebut dan mengembalikan pendapatan negara yang sudah seharusnya.
“Undang-undang ini bisa menjadi payung hukum dan jalan keluar bagi perkebunan ilegal. Negara dirugikan triliunan rupiah dengan mereka tidak membayar PBB, jika saja mau mengurus APL dan HGU pembayaran PBB akan lancar dan menjadi pemasukan daerah. Kita berharap dengan aturan ini pengusaha bisa tidur enak, masyarakat diuntungkan karena masalah lahan bisa selesai, negara tidak kehilangan pendapatan dan kebijakan ini bisa mendorong distribusi kebijakan fiskal dari pusat ke daerah lewat sektor sawit,” jelas dia.
Sementara itu, ia menjelaskan alasan pembuatan UU Perkelapasawitan bukan hanya untuk memajukan industri sawit nasional tetapi juga memperbaiki kehidupan sosial-ekonomi masyarakat , terutama kesejahteraan petani sawit. “Semangat membangun undang-undang ini adalah menjamin kesejahteraan petani, meningkatkan devisa negara dan perekonomian nasional serta mempriotitaskan penanaman modal nasional lewat intensifikasi, perbaikan standarisasi dan kualitas dari hulu ke hilir,” kata dia.
Saat ini, RUU Perkelapasawitan masih dibahas di Badan Legislasi DPR dan peraturan yang direncanakan selesai tahun 2017 belum ada kepastian lebih lanjut. “Kalau sekadar dibahas dengan pemerintah ya tahun ini, tetapi target selesainya, belum diputuskan juga karena masih ada undang-undang yang diutamakan seperti undang-undang pemilu,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Agus Purnomo Managing Director Suistainability PT SMART/GAR mendukung pembentukan undang-undang tersebut asalkan mempunyai rancangan yang jelas untuk menghindari tumpang tindih aturan dan revisi pada tahun berikutnya.
Namun, yang utama bagi dia bukanlah aturan tersebut terkabul atau tidak tetapi bagaimana tiap pihak mempunyai komitmen untuk mempraktikkan perkebunan yang berkelanjutan dan masalah legalitas cepat terselesaikan.
“Saya melihat ini adalah upaya ekstra untuk mendukung kelapa sawit dalam mengidentifikasi konflik terkait legalitas, sebab banyak kerugian yang terjadi jika ini tidak cepat diselesaikan. Bagaimana perusahaan enggan membeli hasil petani yang ilegal, apabila membeli perusahaan ditangkap polisi. Kami mengapresiasi RUU ini, dibatalkan atau dikabulkan yang utama konflik yang berlarut cepat selesai dan produktifitas berlanjut,” pungkasnya.