JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Suara Dorteus Paiki terdengar lirih di ujung telepon saat mengeluarkan uneg-unegnya terkait pabrik sawit petani di Manokwari. ”Kok sampai hati Pak Dirjenbun membuat aturan mewajibkan petani miliki 30% modal kerja untuk investasi pabrik sawit petani. Aturan ini baru terbit di saat verifikasi lapangan sudah oke,” kata Paiki, Ketua Koperasi Arfak Sejahtera dari Manokwari, Papua Barat.
Aturan yang dimaksud Paiki adalah Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 62/2023 mengenai Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Kerangka Pendanaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam aturan yang diterbitkan pada 5 Juni 2023 oleh Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Andi Nur Alamsyah, terdapat persyaratan yang menyebutkan kewajiban memiliki modal 30% dari nilai investasi pabrik sawit.
“Padahal, aturan Kepdirjebun sebelumnya nomor 273/2020 persyaratan modal kerja tidak ada. Itupun, kami mengerjakan dokumen pendukung persyaratannya sudah berjalan dua tahun lebih,” jelas Paiki.
Dorteus Paiki menjelaskan sudah mengurus persyaratan pembangunan pabrik sawit petani semenjak 2020. Rujukan persyaratannya adalah Kepdirjebun Nomor 273/2020 yang mewajibkan 12 persyaratan untuk mendirikan unit pengolahan hasil TBS menjadi CPO. Kapasitas pabrik sawit yang dapat diajukan petani antara lain 10 ton TBS/jam, 20 ton TBS/jam, dan 30 ton TBS/jam.
“Kami sudah disetujui bangun pabrik sawit berkapasitas 15 ton TBS per jam. Investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 80 miliar,” kata Paiki.
Namun semangat Paiki langsung turun setelah mengetahui Dirjen Perkebunan menerbitkan aturan baru yaitu Kepdirjenbun Nomor 62/2023.
“Saya bukannya meragukan petani untuk bangun pabrik kapasitas 15 ton per jam. Makanya aturan itu kita tambahkan 30%. Bapak kalau bangun mau pabrik, ya harus punya modal 30%,” kata Andi.
Aturan baru ini memberikan kesempatan bagi petani yang ingin mendirikan pabrik kelapa sawit ataupun unit pengolahan minyak merah dan minyak goreng. Kapasitas yang dapat diajukan antara lain 15 ton TBS/jam, 20 ton TBS/jam, dan 30 ton TBS/jam.
Tetapi, beleid tersebut meminta petani untuk penuhi 13 persyaratan. Satu persyaratan tambahan adalah memiliki modal 30% dari nilai investasi.
”Petani swadaya seperti dari mana harus mencari modal sebesar itu. Kok tega-teganya mengubah aturan tanpa memikirkan usaha yang sudah dilakukan petani,” keluh Paiki.
Dijumpai saat Kick Off Perdana PSR di Kampar pada pertengahan September lalu, Dirjen Perkebunan Andi Nur Alamsyah menjelaskan persyaratan modal kerja 30% ini bertujuan menyelamatkan petani supaya tidak terjadi masalah di kemudian hari.
“Saya bukannya meragukan petani untuk bangun pabrik kapasitas 15 ton per jam. Makanya aturan itu kita tambahkan 30%. Bapak kalau bangun mau pabrik, ya harus punya modal 30%,” kata Andi.
Ia mengatakan bahwa dana BDPKS tetap uang negara karena pungutan ekspor sawit termasuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang dikelola BPDPKS.”Semua ujungnya adalah manfaat. Bukan kita berhasil membangun lalu selesai tanggung jawab saya sebagai pemberi rekomtek. Atau Pak Dirut BPDPKS yang menyalurkan, tidak berhenti disitu.”
Andi berhitung pabrik sawit berkapasitas 15 ton TBS per jam diperkirakan investasinya Rp 150 miliar.”Mampukah petani kita mengelola itu? Makanya petani sebaiknya bangun dulu plant (red-pabrik) 1 ton per hari. Kalau ini (bagus) kita naikkan lagi kelasnya. Saya dari Teknik Kimia, biasa rancang pabrik. Kalau tak punya modal 30%, pasti bangkrut,” ujarnya.
Andi mencontohkan sewaktu larangan ekspor diberlakukan banyak korporasi besar terkena dampaknya. Tak menutup kemungkinan pabrik sawit petani dapat mengalami persoalan serupa.
”Lalu investasi pabrik sawit Rp 150 miliar kalau mangkrak, siapa tanggung jawab? Saya dan Pak Dirut (BPDPKS). Tapi kami berikan pola lain, tolong 1 ton, belajar dulu. Budidaya tanpa pendampingan dinas dan mitra kita. SDM petani terbatas,” ujarnya.
“Disinilah Direktorat Jenderal Perkebunan membela petani, supaya tidak terjadi masalah hukum. Sekarang ini, kita diperiksa-periksa tapi saya tidur nyenyak. Saya tak pernah main-main karena yakin barang yang diserahkan itu manfaat,” jelas Andi.
Paiki pun mempertanyakan persyaratan yang telah diajukannya sebelum Kepdirjebun Nomor 62/2023 terbit.“Verifikasi lapangan sudah oke. Tapi kenapa seluruh proses persyaratan dimentahkan lagi. Ini sama saja mengabaikan jerih payah rekan-rekan petani yang ingin pabrik sawit dibangun,” keluh Paiki.
“Esensi pembangunan itu azas manfaat, bukan hanya kita bisa sampai membangun. Jangan salah paham, saya dan pak dirut BPDPKS tetap bersama petani. Hentikan saling menyalahkan. Kalau ada yang menjamin saya tanda tangani saja, tapi apakah itu berarti terbebas dari hukum? Tidak pak. Harus ada azas manfaat,” tegas pria Pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 1 Februari 1975.
Berubahnya persyaratan pembangunan pabrik sawit juga harus disesuaikan Paiki lagi. Dalam Kepdirjenbun Nomor 62/2023 terdapat syarat pembangunan pabrik sawit yaitu kepemilikan hamparan kebun sawit sekurang-kurangnya 3.750 hektare. Persyaratannya dilampirkan dalam dokumen berbentuk gambar lahan/kebun berkoordinat yang harus memuat data empat titik koordinat setiap kebun petani, luas kebun setiap pekebun, lokasi kebun, skala, legenda,dan tanda tangan pembuat.
Yang membuat Paiki semakin “lemas” seluruh persyaratan tadi harus diunduh ke sistem online yaitu https://sarpras-online.bpdp.or.id/login. Pasalnya, jaringan internet di tempatnya tidak secepat di Jakarta
“Semua syarat tadi harus diunduh kembali melalui sistem online program sarana prasarana BPDPKS,” ujarnya.
Paiki pun mempertanyakan persyaratan yang telah diajukannya sebelum Kepdirjebun Nomor 62/2023 terbit.“Verifikasi lapangan sudah oke. Tapi kenapa seluruh proses persyaratan dimentahkan lagi. Ini sama saja mengabaikan jerih payah rekan-rekan petani yang ingin pabrik sawit dibangun,” keluh Paiki.