JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Di ujung telepon, Elisabet Senis, mengungkapkan kebahagiaannya karena lulus program Beasiswa Sawit 2021.
“Sa senang dan bahagia karena lulus beasiswa. Dengan biaya pendidikan ini, Sa bisa wujudkan mimpi menjadi petani sawit yang pintar dan tegas seperti Bapa Ketum idolaku” terangnya penuh haru.
Elisabet Senis adalah anak Papua yang dapat melanjutkan kuliahnya di salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Sawit. Selesai kuliah, Elisabet berkesempatan menjadi petani sawit G3 (Generasi Ketiga)
“Tahun 2021 berbeda dengan tahun sebelumnya karena proses seleksi beasiswa hampir sama dengan proses administrasi pengajuan PSR melalui rekomendasi teknis dinas perkebunan kabupaten kota dan provinsi. Prosedur ini sangat ribet,” ujar Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), ketika dihubungi di Balikpapan, Via telepon (14/10).
Gulat mengakui perlu kerja keras antara Ditjen Perkebunan dan APKASINDO untuk mensosialisasikan persyaratan pendaftaran kepada petani. Model baru seleksi beasiswa ini nyaris gagal di tahun ini. Masalah ini akan menjadi evaluasi buat Kementerian Pertanian dan BPDPKS.
“Dan secara khusus petani sawit memberikan apresiasi hormat dan bangga kepada Bapak Ardi Praptono penanggungjawab Program Beasiswa ini sekaligus juga Direktur Perlindungan Tanaman Perkebunan, Kementerian Pertanian,” urainya.
Walaupun ada kendala di awal. Menurutnya dengan komunikasi yang cukup baik mulai sebelum pengumuman sampai hasil seleksi. Ada solusi untuk mengatasi kendala tadi.
“Tentu komunikasi adalah kunci semuanya, karena keawaman petani di model seleksi tahun ini. Tapi kami sangat terbantu dengan komunikasi yang baik dengan Pak Ardi,” ujar Gulat.
Persoalan syarat beasiswa terbilang berat. “Orang mau sekolah kok syaratnya bukti sertifikasi atau kepemilikan lahan. Harus punya KTA Koperasi atau Poktan. Itu tidak ada korelasinya. Itu gaya penjajah untuk masyarakat pribumi zaman dulu” ungkap Terry Ansanay dari DPW APKASINDO Papua.
Paiki Dorteus dari Papua Barat lebih miris melihat persyaratan beasiswa tahun ini.
“Kami DPW APKASINDO Papua Barat memutuskan Boikot dan tidak mengirimkan anak-anak untuk ikut tes. Persyaratan tersebut keterlaluan untuk level petani terkhusus di Papua Barat, ” ujar Paiki.
Indra Rustandi, Ketua DPW APKASINDO Kalimantan Barat mengakui ada rasa kecewa tersirat di wajah anak-anak ketika tidak menemukan namanya dalam daftar peserta yang lulus. Apalagi sudah ikut verifikasi di Dinas Perkebunan tetapi namanya malah tidak ada. Bayangkan panjangnya alur seleksi ini yang berujung tidak lulus.
Indra menjelaskan sebagai provinsi sawit terluas ketiga di Indonesia tahun 2022 akan meminta supaya Universitas Tanjung Pura menjadi penyelenggara Program Beasiswa ini, nanti Universitas Tangjungpura akan mewakili provinsi se-Kalimantan.
“Tidak ada pilihan lain, sebab anak-anak kami juga ingin setara dengan sudara-saudara kami di Pulau Sumatera,” ujar Indra.
Sejak BPDPKS berdiri 2015, setahun kemudian (2016) program Beasiswa BPDPKS ini langsung launching dan faktanya salah satu program unggulan yang cukup sukses dan telah memberikan pendidikan yang professional dan kompetitif kepada 2.605 mahasiswa, melalui jenjang Pendidikan D1,D3 dan D4 bidang kekhususan vokasi sawit di Kampus AKPY STIPER Yogyakarta, STIPAB Medan, Poltek Kampar, Poltek CWE Jawa Barat, LPP Yogyakarta dan Institut Teknologi Sains Bandung.
Pada 2022 diharapkan persyaratan yang menyusahkan ini bisa disederhanakan. Perlu dicatat bahwa peserta tes Beasiswa ini bersifat kekhususan jadi persyaratannya pun harus dibuat khusus pula.
“Jangan beranak pinak persyaratannya seperti harus melampirkan surat kebun orang tua dan wajib bergabung ke koperasi atau kelompok tani, entah di tahun 2022. Nanti masuk pula syarat kebun orang tua calon siswa harus diluar kawasan hutan dan ber-STDB,” kata Gulat yang auditor ISPO ini.
Gulat mengatakan dari pihak Panitia dan BPDPKS menyatakan bahwa persyaratan itu tertuang dalam Permentan atau Kepdirjenbun.
“Kalau begitu permentan atau kepdirjenbun itu diubah. Tak perlu repot, uang beasiswa ini bukan APBN jadi jangan aneh-aneh syarat di tahun depan. Kami petani sawit dari Sabang sampai Merauke, jika masih ribet dan mengada-ngada persyaratannya. Sudah bersepakat akan memboikot proses seleksi dan mendatangi BPDPKS serta Kementerian Pertanian. Pungutan ekspor itu adalah uang kami dan kami berhak penuh untuk protes, “ujar Gulat.
Gulat mengatakan petani berterimakasih atas program beasiswa ini. Tapi menolak persyaratan yang tidak jelas dan tidak berdasar.
“Harapan kami tahun depan jangan sampai terulang lagi. Petani saja malu membaca persyaratan tersebut, ibaratnya kami kena PHP terus” jelasnya.
Gulat menguraikan, bahwa dari 2.800 peserta yang mendaftar via online pada tahun 2021. Yang berhasil dan layak ikut tes akademik 1.122 orang. Dan hasil tes akademik secara online ini 220 Orang gugur, hingga menyisakan 902 calon penerima beasiswa yang wajib megikuti tes Wawancara.
Pada tahun sebelumnya tes wawancara adalah seleksi akhir sebelum dinyatakan berhak menerima full beasiswa yang sumber biayanya dari pungutan ekspor CPO tersebut.
Nyatanya mereka harus melewati 1 tahap lagi, yaitu verifikasi oleh 26 dinas perkebunan provinsi setempat. Tahapan ini jelas menambah beban kerja Dinas Perkebunan. Setelah itu baru diumumkan oleh Panitia Seleksi Dirjenbun yang lulus di tahun 2021 ini sebanyak 660 orang mewakili 26 Provinsi yang artinya ada 242 lagi yang harus tersingkir.
Dari pengumuman yang diterbitkan Ditjenbun Kementan siang kemarin. Sekretariat DPP APKASINDO telah mengelompokkan sebaran mahasiswa penerima beasiswa yaitu wilayah Sumatera 84,6 %, Jawa 2,6%, Kalimantan 9% dan wilayah Sulawesi-Papua hanya mendapat kuota 3.8%.
Ke depan diharapkan jumlah penerima beasiswa harus berjumlah 1.200 orang dan 50% dari jumlah tadi adalah D1.
“Supaya sebaran kelulusan beasiswa tidak timpang dan perlu di kunci persentase minimumnya untuk tiap propinsi, jadi tidak semata berdasarkan hasil tes atau skor nilai,” tutup Gulat.