Penulis: Dr. TungkotSipayung (Ekonom Agribisnis dan Direktur Eksekutif PASPI)
Pemerintah telah menaikkan tarif pungutan ekspor CPO (dan produk turunannya) dari semula sebesar USD 50/ton, naik menjadi 55 dollar AS per ton CPO secara progresif. Setiap tambahan kenaikan harga CPO sebesar USD 25/ton, pungutan mengalami tambahan kenaikan sebesar USD 5/ton. Kebijakan kenaikan tarif pungutan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 191/2020 dan telah berlaku sejak tanggal 10 Desember 2020.
Tarif baru tersebut banyak dikeluhkan oleh produsen CPO/TBS khususnya petani sawit, karena dinilai tidak adil dan merugikan. Sebab, dengan tarif baru tersebut, misalnya untuk kisaran harga CPO sebesar USD 670-USD 800/ton dan dengan asumsi kurs Rp 14000/USD, besar pungutan yang menjadi beban produsen CPO adalah Rp 750-Rp 1890/kg CPO. Sedangkan beban produsen TBS seperti petani sawit setara dengan Rp 154-Rp 378/kg TBS. Sementara, ada pelaku sawit yang tidak menanggung beban malah sebaliknya menikmati tambahan keuntungan ganda.
Pungutan (levy) yang diterapkan tersebut merupakan suatu indirect levy (berdasarkan volume atau nilai jual), sehingga secara ekonomi pungutan merubah keseimbangan pasar. Meskipun pungutan itu dilakukan pada produk yang diekspor di Pabean, beban pungutan tersebut tetap ditransmisikan ke pasar CPO domestik dan selanjutnya ke pasar TBS tingkat petani. Sebab dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan mana CPO/TBS yang akan diekspor atau digunakan di dalam negeri. Artinya, meskipun namanya pungutan ekspor sawit, pada dasarnya adalah pungutan sawit yang menjadi beban bersama seluruh produsen CPO/TBS tanpa kecuali.
BEDA BEBAN
Untuk melihat apakah ada ketidakadilan dalam menanggung beban pungutan tersebut perlu dianalisis dampak dari pungutan tersebut pada 4 kelompok pelaku sawit berikut.
Pertama, Pelaku Industri Hilir. Bagi pelaku hilir sawit seperti industri minyak goreng, industri oleokimia dan industri biodiesel dampak peningkatan pungutan sawit yang progresif tersebut menguntungkan. Karena memperoleh harga bahan baku yakni CPO yang lebih murah. Selain itu, jika mengekspor produk hilir juga akan lebih menguntungkan karena tarif pungutan produk hilir lebih rendah dari tarif CPO.
Pelaku industri biodiesel diuntungkan berganda. Selain memperoleh harga bahan baku yang lebih murah juga memperoleh jaminan harga jual ke Pertamina dengan pembiayaan dari Dana Sawit (hasil pungutan ekspor). Dari sisi ini, kebijakan pungutan tersebut memang untuk mendukung hilirisasi sawit di dalam negeri dan mendukung jaminan pasokan biodiesel untuk program B30.
Kedua, Pelaku integrasi Kebun Sawit-PKS-Refineri-Hilir. Dampak pungutan ekspor tersebut pada mata rantai CPO memang merugikan sebesar Rp 750-Rp 1890 per kg CPO untuk kisaran harga CPO USD 500-800/ton. Namun mengingat sekitar 40 persen dari kebutuhan TBS dari PKS (CPO mill) umumnya dipenuhi dari luar kebun sendiri, maka beban pungutan tersebut sebagian dapat di alihkan ke produsen TBS (supplier-nya). Berapa besar beban yang dialihkan tergantung bargaining power PKS tersebut di pasar TBS lokal.
Kemudian karena integrator juga memiliki industri hilir (Industri minyak goreng, industri oleokimia, industri biodiesel), integrator ini menikmati manfaat ganda yakni harga bahan baku (CPO) lebih murah dan “subsidi” pemasaran biodiesel ke Pertamina. Secara keseluruhan integrator ini menikmati tambahan manfaat ganda dengan pungutan baru tersebut.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 113)