PT Perkebunan Nusantara VI berencana menambah dua pabrik pengolahan kelapa sawit yang berlokasi di perbatasan Jambi dan Sumatera Barat.
Iskandar Sulaiman, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI, menjelaskan perusahaan akan menambah jumlah pabrik kelapa sawitnya sebanyak dua unit, yang masing-masing berkapasitas 30 ton TBS per jam. Lokasi pabrik ini akan berada di Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.
Kebutuhan investasi setiap pabrik kelapa sawit sebesar Rp 70 miliar. Total kebutuhan pendanaan diperkirakan berjumlah Rp 140 miliar. Menurut Iskandar Sulaiman, tahapan pembangunan pabrik baru mencapai studi kelayakan. “Kalau sudah selesai, diharapkan pabrik akan selesai pada 2015 mendatang,” kata Iskandar di Jakarta.
PTPN VI sudah memiliki 7 unit pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 230 ton TBS per jam, yang berlokasi di wilayah Jambi-Sumatera Barat. Tiga pabrik berada di Kabupaten Batanghari, tiga unit lain di wilayah Kabupaten Muaro Jambi, dan satu unit lain di Tebo. Tiap bulan, produksi CPO sekitar 20 ribu ton.
Rencana pendirian pabrik ini sejalan dengan target perusahaan untuk meningkatkan areal perkebunan sawit. Hingga tahun ini, baru diperoleh lahan 8 ribu hektare. Menurut Iskandar, sampai lima tahun mendatang perusahaan membidik perluasan lahan 42 ribu hektare. Wilayah yang dibidik untuk kegiatan ekstensifikasi adalah Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Sarolangun, dan Merangin.
Luas perkebunan kelapa sawit perusahaan plat merah ini sudah 100 ribu hektare yang hampir 70% milik petani plasma, sedangkan sisanya perkebunan inti. Dengan tingkat produktivitas rata-rata TBS perusahaan sebanyak 22 ton TBS per hektare per tahun.
Sudah dua tahun ini, PTPN VI juga mengikuti program integrasi perkebunan sawit dan peternakan sapi sesuai dengan penugasan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengembangbiakan sapi ini dilakukan di lahan seluas 2.000 hektare berada di Desa Muhajirin, Kabupaten Muarojambi, Jambi. Jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 2.000 ekor. Pola pemeliharaan sapi dilakukan dengan cara komunal atau sistem kandang, tidak dibiarkan berada di kebun.
Iskandar mengatakan idealnya satu hektare dapat digunakan untuk pemberian pakan ternak dua ekor sapI. Tetapi, akibat sulitnya mendapatkan ketersediaan bibit sapi maka satu hektare baru bisa satu ekor. Bibit sapi jenis sapi Bali yang diambil dari Lampung. Hampir 400 ekor sapi adalah sapi betina produktif.
Program integrasi sapi dengan sawit ini memberikan keuntungan karena lebih efisien dalam penggunaan pakan ternak dan pupuk di kebun. Jadi, pelepah sawit yang dipotong ketika panen buah merupakan limbah organik yang berguna sebagai pupuk. Dalam satu pohon, jumlah bisa mencapai 20-26 pelepah. Kalau dulu, pekebun belum mengetahui manfaat pelepah sehingga biasanya ditaruh sembarang antar pohon sawit, yang berfungsi sebagai pupuk kompos. Butuh waktu antara 9-12 bulan supaya pelepah dapat berubah sebagai kompos.
Tetapi sekarang, pelepah sawit dipotong-potong terlebih dahulu yang selanjutnya akan digiling bersama bungkil sawit dan tetes tebu. Hasilnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Menurut Iskandar, biaya pakan ternak berbasis limbah sawit lebih hemat, kalau dibandingkan harga pakan konvensional sebesar Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram. Sedangkah, dari limbah sawit diperlukan biaya sebesar Rp 1.200 per kilogram. Ini berarti, perusahaan dapat menekan biaya antara Rp 1.800-2.800 per kilogram.
Ke depan, Iskandar meminta pemerintah membantu penyediaan bibit sapi untuk mensukseskan program integrasi sapi-sawit. Tujuannya, membantu pemerintah untuk melaksanakan program swasembada daging sapi. (Qayuum Amri)