Perkembangan teknologi otomatisasi di pabrik kelapa sawit tergolong masih baru dan masih sedikit perusahaan kelapa sawit yang mengaplikasikannya. Padahal, otomasi ini sangat membantu sistem kerja di pabrik kelapa sawit sebagai tempat pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit mentah (CPO) dan minyak kernel sawit (PKO).
Ashady Achiruddin, Industrial Segment Specialist PT Festo, mengatakan teknologi ini berfungsi merubah sistem kerja manual menjadi sistem otomatis terutama di stasiun perebusan. Sehingga, pabrik memperoleh efisiensi waktu dan hasil produksi yang berkelanjutan.
Iyung Pahan dalam bukunya Panduan Lengkap Kelapa Sawit, menjelaskan sterilizer yang digunakan umumnya bejana tekna horisontal yang dapat menampung 10 lori per unit atau setara dengan 25-27 ton Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Dalam proses perebusan, TBS dipanaskan dengan uap yang bertemperatur sekitar 135 derajat celcius dan tekanan 2,0-2,8 kg/cm2 selama 80-90 menit.
Perebusan bertujuan menghentikan perkembangan asam lemak bebas atau free fatty acid, melepaskan brondolan dari tandan, melepasan daya lekat inti terhadap cangkang, dan mengurangi kadar air dalam buah.
Ashady menjelaskan sistem manual yang digunakan dalam sistem perebusan pabrik kelapa sawit pada umumnya butuh tenaga kerja cukup banyak. Dalam sistem manual, tangki perebusan dimasukkan TBS sawit dengan memakai lori yang selanjutnya ditutup. Setelah itu, akan ada uap bertekanan tertentu yang mengalir ke dalam tangki perebusan. Pengaturan buka dan tutup pintu katup uap dilakukan oleh pekerja.
Disinilah kelemahan sistem manual, papar Ashady, operator pabrik butuh waktu banyak karena menghabiskan tenaga apabila posisi kran pemasukan (inlet valve) berada di atas dan di bawah, sehingga dapat berpotensi delay. Apabila terjadi delay, akan mengganggu hasil produksi CPO. Lewat sistem manual pula, pekerja diperkirakan menghabiskan waktu 10-15 menit per siklus untuk mengatur valve. Kalau terdapat 10 siklus, ini berarti pekerja hampir memakan waktu 150 menit atau dua jam lebih, yang dapat mengakibatkan kapasitas pabrik rendah.
Kelemahan lain, pekerja yang memakai sistem manual dapat kelupaan menutup pintu katup uap. Sehingga, kondisi ini membahayakan keselamatan pekerja sendiri pasalnya temperatur katup mencapai 120 derajat celcius. Dari aspek biaya produksi, apabila target perebusan sembilan kali tetapi waktunya malahan molor tentu saja membuat tambahan waktu lagi. Akibatnya, terjadi kenaikan biaya produksi seperti biaya genset, biaya listrik dan biaya solar. Dia mengatakan kalau pabrik kehilangan satu siklus dalam satu hari memang terlihat kecil. Tetapi jika selama sebulan, ini berarti potensi kehilangan mencapai 30 siklus yang berdampak besar terhadap produksi CPO.
Tak hanya di sterilizer, Festo juga mengembangkan otomasi di stasiun BPV (Back Presure Vessel) dan stasiun klarifikasi (pemurnian). Untuk stasiun BPV yang menggunakan sistem konvensional, kata Ashady, terkadang terjadi kekurangan steam yang berarti butuh injeksi dari boiler langsung. Dengan sistem manual, operator membuka terus padahal input dari boiler ini bertekanan tinggi hingga 20 bar, sementara kapasitas BPV lima bar saja. Jika pekerja lupa, dapat terjadi ledakan di stasiun BPV. Biasanya yang meledak pertama itu safety valve atau valve yang tidak kuat lagi menahan tekanan. Berbeda dengan otomasi dimana dapat dilakukan pengawasan dengan panel kontrol sehingga mengurangi risiko yang membahayakan keselamatan pekerja.
Di stasiun klarifikasi, Festo membuat sistem Sand Cyclone yang bertujuan membuang pasir dari minyak sawit, istilahnya semacam perangkap pasir. Dampaknya, kandungan CPO tidak bercampur dengan pasir.
Ashady mengatakan sistem otomasi khusus stasiun perebusan dapat menghemat tenaga kerja, misalkan sistem manual di perebusan butuh empat pekerja, sementara otomasi hanya memakai dua pekerja. Bagi pabrik berkapasitas 45 ton TBS per jam, investasi otomasi di stasiun perebusan hanya Rp 400 juta dari total investasi pabrik yang mencapai Rp 90 miliar.
PT. Festo, anak perusahaan Festo AG & Co. Jerman , yang antara lain memasarkan sistem otomasi pada PKS . Di Indonesia , PT Festo mulai beroperasi semenjak 1986 yang sekarang telah memiliki cabang di Medan, Batam, Jakarta,Bandung, Semarang,Surabaya. Namun, mulai serius mengembangkan otomasi pabrik kelapa sawit mulai sebelas tahun lalu.
Ashady mengatakan sistem otomasi telah diaplikasikan 90 pabrik pengolahan kelapa sawit di seluruh Indonesia. Tercatat, beberapa perusahaan kelapa sawit skala besar telah menjadi penggunanya antara lain PT Wilmar Indonesia, Torganda Grup, PT Astra Agro Lestari Tbk, PT Smart Tbk, PT Bumitama Gunajaya Agro, dan Best Agro.