JAKARTA, SAWIT INDONESIAN-Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang rencana penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) terkait penundaan perizinan (moratorium) kebun sawit yang kini draftnya berada di Kementerian Perekonomian (Kemenko).
Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi), Darmono Taniwiryono mengatakan, kebijakan moratorium kebun sawit tidak pernah membawa perbaikan signifikan terhadap lingkungan. Perbaikan lingkungan justru lebih didukung oleh perbaikan tata kelola sawit melalui penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO)yang juga diinisiasi Kemenko.
Penerapan sertIfikasi mandatory ISPO dengan serangkaian persyaratan yang ketat mencakup isu hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial lebih menunjukkan “gigi” dalam perbaikan lingkungan dan mengurangi efek gas rumah kaca.
“Selama ini moratorium terbukti tidak efektif. Kenapa harus dipertahankan. Belum lagi aturan sawit terkait lingkungan terlalu banyak sehingga terkesan tumpang tindih,”ujarnya Senin (29 Januari 2018).
Darmono juga mengingatkan, label moratorium kebun sawit dalam Inpres tersebut menunjukkan ketidakberpihakan kelompok tertentu terhadap komoditas yang selama tiga tahun pemerintahan Jokowi telah mengangkat drajat bangsa melalui kontribusi devisa terbesar serta peningkatan tenaga kerja.
“Jokowi saja bangga dengan sawit dan selalu membela dalam berbagai forum internasional. Seharusnya, perlu penamaan yang lebih etis. Ini sama dengan mempermalukan Indonesia di mata dunia.”
Darmono menambahkan, kalau pun moratorium lahan terpaksa dilakukan dengan alasan peningkatan hilirisasi dan peremajaan tanaman sawit, seharusnya ada dukungan jelas dari pemerintah berupa pembangunan infrastruktur serta revitalisasi lahan untuk meningkatkan daya dukung perkebunan sawit di Indonesia.
Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad menilai moratorium sawit merupakan aturan tendensius yang hanya ingin menunjukkan arogansi kementerian LHK tanpa mempertimbangkan nasib jutaan petani sawit. Tidak berbeda dengan moratorium gambut, kebijakan ini juga tidak mempunyai kajian akademis dan nalar yang benar.
Asmar juga mempertanyakan, asal usul kebijakan lahan pengganti (land swap) untuk kegiatan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang luasnya mencapai ratusan ribu hektare.
“ Dengan keterbatasan lahan saat ini, apakah kebijakan lahan pengganti berasal dari pelepasan kawasan atau dari lahan yang dimoratorium. Hal itu saja tidak jelas. Jangan asal membuat kebijakan. Aturan yang ditetapkan saat ini banyak dan tidak mempunyai solusi,” tegas Asmar.
Asmar mengingatkan Presiden Jokowi perlu mempunyai sikap tegas terhadap Menteri LHK Siti Nurbaya dan kalau perlu menggantinya. “Sejak Siti Nurbaya menjabat,terlalu banyak aturan KLHK yang mengganggu keberlanjutan usaha petani sawit namun dari sisi lingkungan tidak mempunyai perbaikan signifikan,” kata Asmar.