- Potensi Bioenergi Untuk Menghasilkan Listrik Melalui Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg)
Dari data Kementerian ESDM pada tahun 2017 listrik Nasional masih disubsidi sebesar 48 triliun rupiah, walaupun nilai ini turun dibandingkan dengan data tahun 2016 dengan nilai subsidi 58 triliun rupiah. Porsi terbesar subsidi ini adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM), karena untuk menghasilkan 1 kWh listrik dibutuhkan SFC (specific fuel consumption) sebesar 0,3-an artinya dibutuhkan 0,3 liter untuk menghasilkan 1 kWh listrik atau dengan kata lain dibutuhkan harga pokok produksi (HPP) PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) sebesar Rp.3.000,- an per kWh, sementara PT.PLN (Persero) menjual ke masyarakat hanya sekitar Rp.1500,- per kWh. Di satu sisi komposisi listrik Kita masih banyak bersumber dari Bahan Bakar Minyak (BBM), sekitar 12 % pada tahun 2014. Memang berdasarkan data kementerian ESDM pada tahun 2017 komposisi bauran listrik Nasional semakin membaik, dimana dari BBM hanya 5,81 %, selanjutnya disusul dari EBT (Energi Baru Terbarukan) 12,5 %, gas 24,82 %, batubara 52,77 %. Dan pada tahun 2023 sesuai permen 79 tahun 2014 komposisi bauran energi nasional harus 23 % dari EBT artinya selama 5 tahun lagi ini haru meningkat sebesar 11,5 % lagi, salah satu porsi yang paling memungkinkan untuk dilakukan percepatan yang maksimal adalah dari bioenergi yang salah satu sumbernya adalah kelapa sawit. Berikut diuraikan potensi bioenergi dari kelapa sawit untuk menghasilkan listrik, yaitu :
- Biodiesel
Biodiesel dapat digunakan untuk menjalankan mesin-mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel menjadi Tenaga Bio-Solar atau Tenaga Biodiesel, sehingga produksi Nasional Indonesia dapat dioptimal secara keseluruhan atau s.d 12 juta kL. Salah satu manfaatnya adalah nilai emisi GRK-nya hanya 0,209 kg-CO2eq/kWh, sementara dari diesel bisa mencapai 0,308 kg-CO2eq/kWh.
- Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm)
Data dari APLIBI (Asosiasi Produksi Listrik Bioenergi Indonesia) pada bulan Mei 2018 terdapat terdapat 15 perusahaan yang mengembangkan Mesin PLTBm dengan kapasitas 115 MW. Hasil penelitian saya dan teman-teman sudah berhasil memproduksi Mesin Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) Kapasitas 25 kW seperti diperlihatkan pada Gambar 1 (Siregar, dkk, 2017). Mesin PLTBm ini sengaja didisain untuk 1 desa atau sekitar 25 rumah penduduk di daerah-daerah terisolasi dari jaringan listrik PT.PLN (Persero) dan mesin ini sangat cocok untuk diaplikasikan di masing-maing Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang ada di Indonesia, sehingga limbah padatnya termanfaatkan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan PLTBm, walapun untuk PKS sebaiknya diproduksi dengan kapasitas 100 kW, sehingga kalau ini diterapkan pada 702 buah PKS di Indonesia, maka akan didapat 70.200 kW atau 70,2 MW, sehingga potensi sangat besar, apalagi saat ini pemerintah melalui BPDP Kelapa Sawit sedang melaksanakan program replanting, dimana sebanyak 136 s.d 145 pohon tua kelapa sawit per hektar tua tersebut dapat digunakan sebagai bahan bakar PLTBm daripada pohon kelapa sawit tersebut dibakar. Mesin PLTBm yang dirancang dan diproduksi ini sengaja dibuat paling besar 100 kW agar usaha untuk mendatangkan bahan baku biomassa tidak terlalu membutuhkan energi yang besar, sehingga nilai net energy ratio (NER) dari Mesin PLTBm di atas 1 (NER >1), sehingga hasilnya layak untuk dikembangkan. Secara garis besar hasil penelitian Mesin PLTBm Siregar, dkk (2017) ini sebagai berikut :
- Produksi Mesin PLTBm Kapasitas 25 kW sudah dapat beroperasi dengan maksimum 84 % atau sudah dapat digunakan sebagai Teknologi Tepat Guna (TKT 7) dan dapat di d 100 kW.
- Hasil perhitungan net energy balance (NEB), net energy ratio (NER), dan renewable index (RI) dari mesin PLTBm ini diperoleh masing-masing sebesar 30 MJ/kWh-listrik, 1,09 dan 0,76. Walaupun nilai NER ini masih lebih rendah dari produksi biodiesel dari CPO yaitu 1,14 (Siregar, 2013), dan 2,27 (Lam al, 2009), namun lebih tinggi dari nilai NER produksi minyak fosil (BBM biasanya NER nya kurang dari 1).
- Melalui perhitungan metode Life Cycle Assessment diperoleh nilai emisi GRK dari mesin PLTBm ini adalah sebesar 0,108 kg-CO2eq/kWh. Nilai ini jauh lebih rendah dari PLTU_Batubara yaitu 0,337 kg-CO2eq/kWh, PLTD = 0,308 kg-CO2eq/kWh, Natural gas = 0,186 kg-CO2eq/kWh (Siregar, al, 2013), namun masih lebih tinggi dari Nuklir = 0,039 kg-CO2eq/kWh dan PLTA = 0,007 kg-CO2eq/kWh (Siregar, et.al, 2013).
- Harga Pokok Produksi (HPP) pada daerah terisolasi dari jaringan listrik PT.PLN (Persero) yang kaya akan biomassa sekitar Rp.1000,-/kWh. Nilai ini jauh lebih rendah dari PLTD yaitu Rp.3.300/kWh, bahkan daerah terisolasi bisa mencapai Rp.15.000,-/kWh karena harga solar bisa mencapai Rp.50.000,-/liter.