JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Hampir setengah jam, Ir. Gulat Manurung, MP, C.APO, menguraikan persoalan yang dihadapi petani sawit mulai dari peremajaan, kelembagaan hingga tata niaga buah sawit (TBS). Ketua Umum DPP APKASINDO ini menyampaikan fakta lapangan dari laporan anggotanya yang tersebar di 22 provinsi dan 134 kabupaten kota sentra sawit.
“Di balik tantangan yang dihadapi petani, cukup berpeluang untuk bisa terselesaikan masalahnya,” ujar Gulat Manurung saat menjadi pembicara utama pada FGD Outlook Industri Kelapa Sawit Indonesia” yang diselenggarakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Kamis (12 November 2020) di kawasan Serpong, Banten, yang juga dihadiri perwakilan Kemendag, Kemenkeu, GAPKI dan unsur lainnya.
Dalam presentasinya, Gulat menjelaskan bahwa roh program PSR ini adalah intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit dengan tanpa menambah luas lahan perkebunan sawit. PSR dilakukan melalui pergantian tanaman tua atau tidak produktif dengan tanaman baru, dengan produktivitas 2-3 ton TBS/Ha/bulan, yang sebelumnya hanya 400kg/ha/bulan.
Berdasarkan data profil kebun sawit yang perlu diremajakan sekitar 2,27 juta hektare adalah perkebunan swadaya. Kondisi lahan petani swadaya ini memiliki luas bervariasi, berpencar, usaha sendiri, SHM/SKT/SPORADIK, tidak bankable, bibit gak jelas asalnya dan mayoritas dalam kawasan hutan. Kalau Petani PSR yang target 500 ribu hektare (7,3%) tersebut pasti dapat disertifikasi ISPO karena dokumen pencatatannya sangat lengkap dan pasti non kawasan hutan.
“Namun Petani yang tidak ikut PSR seluas 6,5 juta hektare (92,7%) bagaimana? Masalah ini akan menjadi persoalan pelik untuk ISPO kan. Apalagi jika kepentingan “pembenci sawit” masuk dalam pembahasan RPP, maka semakin runyam nasib petani sawit kampong tadi.”
Faktanya perkebunan sawit yang dikelola oleh petani dari 41% (6,8 juta hektare) ini hanya 8% petani plasma. Rata-rata produktivitas petani swadaya (petani kampong) berkisar 400-600 kg TBS sawit /ha/bulan. Di sisi lain, petani sudah sangat jauh masuk ke lini bisnis perkebunan sawit, tak mungkin mundur lagi. Tak heran lebih dari 20 juta orang tergantung ke industri sawit petani. Memang, 78 % petani pada awalnya adalah petani ikut-ikutan dalam berkebun untuk mengadu nasib dan bertahan hidup.
Akibat berbagai persoalan tadi, produktivitas petani menjadi rendah. Untungnya, Presiden Joko Widodo dan Wapres Mar’ruf Amin punya perhatian besar kepada petani sawit terutama swadaya. Gulat memberikan acungan dua jempol kepada program PSR. Pasalnya, PSR ini memberikan kesempatan kepada petani untuk meningkatkan produktivitas di atas rata-rata. “(PSR) ini kesempatan terbaik bagi petani untuk tingkatkan produktitivitas. Makanya, APKASINDO sangat aktif memberikan edukasi dan sosialisasi kepada petani,” ujar Gulat.
Di daerah sentra sawit, dikatakan Gulat, masih minim informasi PSR kepada petani. Tak heran, petani mengganggap dana PSR ini bukannya hibah melainkan bersifat pinjaman (wajib dikembalikan) dan bahkan ada yang menganggap ini semacam multi level marketing (MLM).
Untuk itu Gulat menekankan jajaran pengurus APKASINDO di tingkat provinsi sampai kabupaten bergerilya dan berjibaku menjumpai petani untuk memberi pemahaman. Terakhir ini, APKASINDO berkolaborasi dengan Surveyor Indonesia. Di lapangan, faktanya petani kesulitan mengakses PSR dengan berbagai kendalanya. Kendala utama petani yaitu lahannya diklaim berada di kawasan hutan walaupun umur tanaman di atas 10 tahun.
Dari pihak bank, kata Gulat, pihak perbankan kurang aktif dalam mengedukasi PSR. Selain itu, bank memposisikan diri hanya sebagai penyalur dana hibah, berdasar catatan kami di 16 Provinsi yang sudah ada PSR nya, hanya Bank Riau Kepri yang menyediakan skema kredit dana pendamping bagi Petani PSR. Hal ini diperparah kalangan petani cenderung alergi untuk berhutang ke bank (ciri petani kampong).
Dalam pandangan Gulat, hambatan PSR tadi dapat diselesaikan melalui konsep tripartite. Konsep ini terdiri dari tiga solusi yaitu sosialisasikan, clearkan kawasan, dan pendampingan. Sosialisasi ini dapat melibatkan organisasi petani seperti APKASINDO, Samade, dan ASPEKPIR. Empat tahun PSR sudah berjalan, praktis asosiasi petani ini terlupakan, padahal namanya peremajaan sawit rakyat.
“Selain itu, peran media juga sangat penting menampilkan dan menceritakan kebun petani yang sudah sukses PSR, ini sangat merangsang petani lainnya,” terang kandidat Doktor Lingkungan ini. Media sangat berperan dalam mensosialisasikan PSR ini.
“Berkaitan penyelesaian aspek legalitas ini sangat sederhana dimana pemerintah jangan terpengaruh oleh pembenci Sawit, gak susah kok,” ujar Gulat.
Apa yang terjadi saat ini yang diributkan sawit dalam kawasan hutan adalah dosa masa lalu kementerian terkait yaitu terjadi kelalaian, pembiaran, dan tidak jelasnya antara batas hutan dengan non hutan.
Menurut Gulat, kebun petani yang di kawasan hutan harus segera di-clearkan. Tidak ada pilihan sangat beresiko jika kementerian terkait bermain-main di lini ini (abu-abu). Presiden Jokowi sangat peduli kepada persoalan ini, kementerian terkait harus berjibaku dalam paduserasi, sebab yang ada adalah visi misi Presiden/Wapres, tidak ada visi misi Menteri.
“Untung masa pandemi, kalau tidak pasti petani dari 134 kabupaten kota turun ke Jakarta, tapi bukan berarti kami petani diam? Kami mencatat detik demi detik apa yang sudah dilakukan oleh kementerian terkait kepada petani,” jelasnya.
Gulat mengatakan petani disuruh ISPO tapi dari sisi persyaratan ISPO kami dikurung. “Makanya jangan buat pagar tinggi-tinggi, kami petani susah melompatnya, Saya yakin Presiden tidak mendapat informasi yang lengkap tentang ISPO ini. Kalau legalitas selesai, kebun petani yang tidak ikut di PSR bisa segera ikut ISPO,” jelasnya.
Lebih lanjut lagi, dikatakan Gulat, kebun petani peserta PSR butuh pendampingan teknis dan non teknis. Solusinya, peserta beasiswa BPDPKS dijadikan pendamping. Mereka ini adalah anak petani dan buruh tani sawit yang telah lulus kuliah D1 ataupun D3. Total alumni peserta beasiswa mencapai 1.800 orang. “Pendampingan ini akan membantu mereka supaya tidak nganggur dan bisa kembali ke desa sekaligus menjadi garda terdepan percepatan PSR. Selama ini alumni Taruna Sawit ini terabaikan,” kata Gulat.
Semua persoalan PSR ada Solusinya dan sebenarnya persoalan tersebut merupakan potensi dalam rangka percepatan PSR. Petani kampong sebagai calon peserta PSR sangat mudah ditemukan, faktanya baru sekitar 7% petani sawit kampong yang ikut PSR.
“Output kegiatan PSR inilah yang akan menghasilkan petani berkualitas, mandiri dengan produktivitas tinggi”, imbuhnya.
Gulat juga menguraikan perbaikan kualitas petani sebaiknya diikuti perbaikan tata niaga buah sawit petani. Tujuh dari sepuluh PKS masih melakukan potongan timbangan dan saat ini sedang viral potongan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) dalam penetapan harga TBS kelapa sawit pekebun diseluruh Indonesia. Seperti di Riau, potongan sebesar 2,63 persen dilakukan pabrik sawit. Dari potongan tadi, 1% dikatakan untuk pembinaan petani dan kelembagaannya. Alasannya, dana ini dipakai bagi pembinaan petani. Tetapi realitasnya petani tidak satu senpun merasakan manfaat dana tersebut.
Dikatakan Gulat, besaran pungutan dari BOTL di Riau mencapai Rp 2,9 miliar per minggu di provinsi Riau (ini baru dari 10 PKS yang bersepakat setiap minggunya di dinas perkebunan Riau). Dalam sebulan, total potongan diperkirakan Rp 13,6 miliar. Coba kalikan saja jika di Riau diketahui ada 196 pabrik sawit. “Dari potongan tadi, petani bisa membangun pabrik sawit sendiri. Sebenarnya, daripada meributkan pungutan ekspor. Lebih baik, tata niaga sawit petani yang diperbaiki,” ujarnya.